Sabtu, 23 Oktober 2010

Ilmu Tafsir

A. PENGERTIAN
Secara etimologi tafsir bisa berarti Penjelasan, Pengungkapan, dan Menjabarkan kata yang samar.Adapun secara terminologi tafsir adalah penjelasan terhadap Kalamullah atau menjelaskan lafadz-lafadz al-Qur’an dan pemahamannya.
SEJRAH ILMU TAFSIR
Pertama, Tafsir Pada Zaman Nabi.
Al-Qur’an diturunkan dengan bahasa Arab sehingga mayoritas orang Arab mengerti makna dari ayat-ayat al-Qur’an. Sehingga banyak diantara mereka yang masuk Islam setelah mendengar bacaan al-Qur’an dan mengetahui kebenarannya. Akan tetapi tidak semua sahabat mengetahui makna yang terkandung dalam al-Qur’an, antara satu dengan yang lainnya sangat variatif dalam memahami isi dan kandungan al-Qur’an. Sebagai orang yang paling mengetahui makna al-Qur’an, Rasulullah selalu memberikan penjelasan kepada sahabatnya, sebagaimana firman Allah ,” keterangan-keterangan (mu’jizat) dan kitab-kitab.Dan Kami turunkan kepadamu al-Qur’an, agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka supaya mereka memikirkan, (QS. 16:44). Contohnya hadits yang diriwayatkan Muslim dari Uqbah bin ‘Amir berkata : “Saya mendengar Rasulullah berkhutbah diatas mimbar membaca firman Allah :
وأعدوا لهم ما استطعتم من قوة
kemudian Rasulullah bersabda :
ألا إن القوة الرمي
“Ketahuilah bahwa kekuatan itu pada memanah”.
Juga hadits Anas yang diriwayatkan Bukhori dan Muslim Rasulullah bersabda tentang Al-Kautsar adalah sungai yang Allah janjikan kepadaku (nanti) di surga.

Tafsir Pada Zaman Shohabat
Adapun metode sahabat dalam menafsirkan al-Qur’an adalah; Menafsirkan Al-Qur’an dengan Al-Qur’an, menafsirkan Al-Qur’an dengan sunnah Rasulullah, atau dengan kemampuan bahasa, adat apa yang mereka dengar dari Ahli kitab (Yahudi dan Nasroni) yang masuk Islam dan telah bagus keislamannya.
Diantara tokoh mufassir pada masa ini adalah: Khulafaurrasyidin (Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali), Abdullah bin Abbas, Abdullah bin Mas’ud, Ubay bin Ka’ab, Zaid bin Tsabit, Abdullah bin Zubair dan Aisyah. Namun yang paling banyak menafsirkan dari mereka adalah Ali bin Abi Tholib, Abdullah bin Mas’ud dan Abdullah bin Abbas yang mendapatkan do’a dari Rasulullah.
Penafsiran shahabat yang didapatkan dari Rasulullah kedudukannya sama dengan hadist marfu’. 3 Atau paling kurang adalah Mauquf. 4

Tafsir Pada Zaman Tabi’in
Metode penafsiran yang digunakan pada masa ini tidak jauh berbeda dengan masa sahabat, karena para tabi’in mengambil tafsir dari mereka. Dalam periode ini muncul beberapa madrasah untuk kajian ilmu tafsir diantaranya:
1)- Madrasah Makkah atau Madrasah Ibnu Abbas yang melahirkan mufassir terkenal seperti Mujahid bin Jubair, Said bin Jubair, Ikrimah Maula ibnu Abbas, Towus Al-Yamany dan ‘Atho’ bin Abi Robah.
2)- Madrasah Madinah atau Madrasah Ubay bin Ka’ab, yang menghasilkan pakar tafsir seperti Zaid bin Aslam, Abul ‘Aliyah dan Muhammad bin Ka’ab Al-Qurodli. Dan 3)- Madrasah Iraq atau Madrasah Ibnu Mas’ud, diantara murid-muridnya yang terkenal adalah Al-Qomah bin Qois, Hasan Al-Basry dan Qotadah bin Di’amah As-Sadusy.
Tafsir yang disepakati oleh para tabiin bisa menjadi hujjah, sebaliknya bila terjadi perbedaan diantara mereka maka satu pendapat tidak bisa dijadikan dalil atas pendapat yang lainnya. 5

Tafsir Pada Masa Pembukuan
Pembukuan tafsir dilakukan dalam lima periode yaitu;
Periode Pertama, pada zaman Bani Muawiyyah dan permulaan zaman Abbasiyah yang masih memasukkan ke dalam sub bagian dari hadits yang telah dibukukan sebelumnya. Periode Kedua, Pemisahan tafsir dari hadits dan dibukukan secara terpisah menjadi satu buku tersendiri. Dengan meletakkan setiap penafsiran ayat dibawah ayat tersebut, seperti yang dilakukan oleh Ibnu Jarir At-Thobary, Abu Bakar An-Naisabury, Ibnu Abi Hatim dan Hakim dalam tafsirannya, dengan mencantumkan sanad masing-masing penafsiran sampai ke Rasulullah, sahabat dan para tabi’in. Periode Ketiga, Membukukan tafsir dengan meringkas sanadnya dan menukil pendapat para ulama’ tanpa menyebutkan orangnya. Hal ini menyulitkan dalam membedakan antara sanad yang shahih dan yang dhaif yang menyebabkan para mufassir berikutnya mengambil tafsir ini tanpa melihat kebenaran atau kesalahan dari tafsir tersebut. Sampai terjadi ketika mentafsirkan ayat
غير المغضوب عليهم ولاالضالين
ada sepuluh pendapat, padahal para ulama’ tafsir sepakat bahwa maksud dari ayat tersebut adalah orang-orang Yahudi dan Nasroni. Periode Keempat, pembukuan tafsir banyak diwarnai dengan buku – buku tarjamahan dari luar Islam. Sehingga metode penafsiran bil aqly (dengan akal) lebih dominan dibandingkan dengan metode bin naqly ( dengan periwayatan). Pada periode ini juga terjadi spesialisasi tafsir menurut bidang keilmuan para mufassir. Pakar fiqih menafsirkan ayat Al-Qur’an dari segi hukum seperti Alqurtuby. Pakar sejarah melihatnya dari sudut sejarah seperti ats-Tsa’laby dan Al-Khozin dan seterusnya. Periode Kelima, tafsir maudhu’i yaitu membukukan tafsir menurut suatu pembahasan tertentu sesuai disiplin bidang keilmuan seperti yang ditulis oleh Ibnu Qoyyim dalam bukunya At-Tibyan fi Aqsamil Al-Qur’an, Abu Ja’far An-Nukhas dengan Nasih wal Mansukh, Al-Wahidi Dengan Asbabun Nuzul dan Al-Jassos dengan Ahkamul Qur’annya.

B. MACAM-MACAM TAFSIR BERDASARKAN SUMBERNYA
Pembagian Tafsir secara ilmiah, tafsir terbagi menjadi tiga bagian:
- Tafsir bil-ma’tsur ( bir-riwayah )
- Tafsir bir-ra’yi ( bid-dirayah )
- Tafsirul isyari ( bil-isyarah )
- Tafsir bil Izdiwaji ( campuran )
1. Tafsir bil-ma’tsurAdalah penafsiran Al Qur’an dengan Qur’an, atau dengan Hadits ataupun perkataan para Shahabat, untuk menjelaskan kepada sesuatu yang dikehendaki Allah swt.
2. Tafsir bir-ra’yiAdalah tafsir yang dalam menjelaskan maknanya, Mufassir hanya perpegang pada pemahaman sendiri. Dan penyimpulan (istinbath) yang didasarkan pada ra’yu semata.
Pembagian Tafsir bir-ra’yi:Tafsir bir-ra’yi terbagi menjadi dua bagian:
- Tafsir Mahmud
- Tafsir Madzmum
a. Tafsir Mahmud: Adalah suatu penafsiran yang sesuai dengan kehendak syari’at (penafsiran oleh orang yang menguasai aturan syari’at), jauh dari kebodohan dan kesesatan, sesuai dengan kaidah-kaidah bahasa arab, serta berpegang pada uslub-uslubnya dalam memahami nash-nash Qur’aniyah.
b. Tafsir al Madzmum: Adalah penafsiran Al Qur’an tanpa berdasarkan ilmu, atau mengikuti hawa nafsu dan kehendaknya sendiri, tanpa mengetahui kaidah-kaidah bahasa atau syari’ah. Atau dia menafsirkan ayat berdasarkan mazhabnya yang rusak maupun bid’ahnya yang tersesat.
Hukum Tafsir bir-ra’yi al Madzmum: Menafsirkan Al Qur’an dengan ra’yu dan Ijtihad semata tanpa ada dasar yang shahih adalah haram.
sabda Rasulullah saw:
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ قَالَ فِي الْقُرْآنِ بِغَيْرِ عِلْمٍ فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنْ النَّارِ
قَالَ أَبُو عِيسَى هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ صَحِيحٌ
Artinya:“ Dari Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhuma dia berkata, bersabda Rasulullah saw: “Barang siapa menafsirkan Al Qur’an dengan tanpa ilmu, maka siapkanlah tempatnya di neraka”.
3. Tafsir Isyari :Menurut kaum sufi setiap ayat mempunyai makna yang zahir dan batin. Yang zahir adalah yang segera mudah dipahami oleh akal pikiran sedangkan yang batin adalah yang isyarat-isyarat yang tersembunyi dibalik itu yang hanya dapat diketahui oleh ahlinya. Isyarat-isyarat kudus yang terdapat di balik ungkapan-ungkapan Al-Qur’an inilah yang akan tercurah ke dalam hati dari limpahan pengetahuan gaib yang dibawa ayat-ayat. Itulah yang biasa disebut tafsir Isyari.
4. Tafsir bil Izdiwaji ( Campuran ) Tafsir bil Izdiwaji disebut juga dengan metode campuran antara tafsir bil Matsur dan Tafsir bil Ra’yi yaitu menafsirkan Al-Qur’an yang didasarkan atas perpaduan antara sumber tafsir riwayat yang kuat dan shahih, dengan sumber hasil ijtihad akan pikiran yang sehat.
C. MACAM-MACAM TAFSIR BERDASARKAN METODENYA
1. Metode Tahlili (Analitik)Metode Tahlili adalah metode menafsirkan Al-Qur’an yang berusaha menjelaskan Al-Qur’an dengan menguraikan berbagai seginya dan menjelaskan apa yang dimaksudkan oleh Al-Qur’an. Metode ini adalah yang paling tua dan paling sering digunakan. Tafsir ini dilakukan secara berurutan ayat demi ayat kemudian surat demi surat dari awal hingga akhir sesuai dengan susunan Al-Qur’an. Dia menjelaskan kosa kata dan lafazh, menjelaskan arti yang dikehendaki, sasaran yang dituju dan kandungan ayat, yaitu unsur-unsur I’jaz, balaghah, dan keindahan susunan kalimat, menjelaskan apa yang dapat diambil dari ayat yaitu hukum fikih, dalil syar’i, arti secara bahasa, norma-norma akhlak dan lain sebagainya.
2. Metode Ijmali (Global)Metode ini adalah berusaha menafsirkan Al-Qur’an secara singkat dan global, dengan menjelaskan makna yang dimaksud tiap kalimat dengan bahasa yang ringkas sehingga mudah dipahami. Urutan penafsiran sama dengan metode tahlili namun memiliki perbedaan dalam hal penjelasan yang singkat dan tidak panjang lebar. Keistimewaan tafsir ini ada pada kemudahannya sehingga dapat dikonsumsi oleh lapisan dan tingkatan kaum muslimin secara merata. Sedangkan kelemahannya ada pada penjelasannya yang terlalu ringkas sehingga tidak dapat menguak makna ayat yang luas dan tidak dapat menyelesaikan masalah secara tuntas.
3. Metode MuqarinTafsir ini menggunakan metode perbandingan antara ayat dengan ayat, atau ayat dengan hadits, atau antara pendapat-pendapat para ulama tafsir dengan menonjolkan perbedaan tertentu dari obyek yang diperbandingkan itu.
4. Metode Maudhu’i (Tematik)Metode ini adalah metode tafsir yang berusaha mencari jawaban Al-Qur’an dengan cara mengumpulkan ayat-ayat Al-Qur’an yang mempunyai tujuan satu, yang bersama-sama membahas topik/judul tertentu dan menertibkannya sesuai dengan masa turunnya selaras dengan sebab-sebab turunnya, kemudian memperhatikan ayat-ayat tersebut dengan penjelasan-penjelasan, keterangan-keterangan dan hubungan-hubungannya dengan ayat-ayat lain kemudian mengambil hukum-hukum darinya.
D. KAIDAH-KAIDAH TAFSIR
A. PENGERTIAN QAWAID TAFSIR
Menurut bahasa, Qawaid artinya kaidah-kaidah atau prinsip-prinsip dasar tafsir. Sedangkan yang dimaksud Qawaid Tafsir dalam hal ini ialah kaidah-kaidah yang diperlukan oleh para mufasir dalam memahami ayat-ayat Al-Qur’an.
Kaidah-kaidah yang diperlukan para mufasir dalam memahami Al-Qur’an meliputi penghayatan uslub-uslubnya, pemahaman asal-asalnya, penguasaan rahasia-rahasianya dan kaidah-kaidah kebahasaan.
B. MACAM-MACAM QAWAID TAFSIR

Orang yang hendak menafsirkan ayat-ayat suci Al-Qur’an, lebih dahulu harus tahu dan memahami beberapa kaidah-kaidah yang erat kaitannya dengan pemahaman makna kalimat yang hendak ditafsirkan.
Ada beberapa macam Qawaid Tafsir, seperti :
1. Mantuq dan Mafhum
a. Al-Mantuq secara bahasa adalah sesuatu yang di tunjukkan oleh lafazh pada saat di ucapkannya. Yakni bahwa penunjukan makna berdasarkan materi huruf-huruf yang di ucapkan.Secara istilah Dilalah Mantuq adalah penunjukan lafal terhadap langsung lafal yang tertulis, maka cara seperti ini disebut pemahaman secara Mantuq. Misalnya, hukum yag di pahami langsung dari teks Firman Allah padasurat Al-Isra ayat 23 :

“Dan Tuhanmu Telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengansebaik-baiknya. jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia”
Dengan menggunakan pemahaman secara Mantuq ayat ini menujukan haramnya mengucapkan “ah” dan membentak kedua orang tua. Larangan atau haramnya hal tersebut langsung tertulis dan di tunjukan dalam ayat ini.

b. Mafhum adalah penunjukan lafal yang tidak diucapkan, atau dengan kata lain penunjukan lafal terhadap suatu hukum yang tidak di sebutkan atau menetapkan pengertian kebalikan dari pengertian lafal yang di ucapkan (bagi sesuatu yang tidak di ucapkan)
Penerapan definisi ini dapat dilihat dari firman Allah Surat Al-Isra :23
“Dan Tuhanmu Telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengansebaik-baiknya. jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia”
Secara Mantuq, hukum yang dapat di tarik dari ayat ini adalah haramnya mengucap kata “ah” dan menghardik orang tua. Dari ayat ini dapat juga di gunakan mafhum, dimana melaluinya dapat diketahui haram hukumnya menghardik orang tua dan segala bentuk perbuatan yang menyakiti keduanya.
2. Pembagian Mafhum
Mafhum dibedakan menjadi dua bagian, yakni:
a. Mafhum Muwafaqah
yaitu apabila hukum yang dipahamkan sama dengan hukum yang ditunjukkan oleh bunyi lafadz. Mafhum muwafaqah ini dibagi menjadi dua bagian:
-) Fahwal Khitab
yaitu apabila yang dipahamkan lebih utama hukumnya daripada yang diucapkan. Seperti memukul orang tua tidak boleh hukumnya, firman Allah SWT .
“jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia”
Maka dapat dapat disimpulkan bahwa kata-kata yang keji saja tidak boleh apalagi memukulnya.
-) Lahnal Khitab
yaitu apabila yang tidak diucapkan sama hukumnya dengan diucapkan. Seperti memakan (membakar) harta anak yatim tidak boleh berdasarkan firman Allah SWT:(Q.S An-Nisa ayat 10)
“Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim, Sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka).”
Membakar atau setiap cara yang menghabiskan harta anak yatim sama hukumnya dengan memakan harta anak tersebut ang berarti dilarang (haram)


2. ‘Am dan Khash
A. Pengertian
1. Pengertian ‘Amm
a. Menurut Bahasa (Etimologi)
‘Amm menurut bahasa bahasa adalah : شُمُوْلُ أَمْرٍ لِمُتَعَدِّدٍ artinya : Mencakup sesuatu yang berbilang-bilang (tidak terbatas).
b. Menurut Istilah (Terminologi)
Sedangkan ‘Amm menurut istilah adalah :
اللَّفْظُ الْمُسْتَغْرِقُ لِجَمِيْعِ مَا يَصْلُحُ لَهُ بِحَسَبِ وَضْعٍ وَاحِدٍ دَفْعَةً.
Artinya : Lafazh yang mencakup semua yang cocok untuk lafazh tersebut dengan satu kata sekaligus. Contohnya kata الرِّجَالُ yang berarti kaum laki-laki. Maka semua laki-laki di dunia ini masuk dalam kata الرِّجَالُ . Sebagai contoh firman Allah SWT dalam surat An-Nisa ayat: 34 yang menerangkan tentang kedudukan kaum laki-laki atas kaum perempuan:
ﭑ ﭒ ﭓ ﭔ ﭕ ﭖ ﭗ ﭘ ﭙ ﭚ ﭽ النساء: ٣٤
“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita).”
(Q.S.Annisa: 34)
Yang dimaksud laki-laki di sini bukan hanya laki-laki Arab atau laki-laki yang beragama islam saja, tapi semua laki-laki yang ada di muka bumi ini.
c. Menurut para ulama
Para ulama Ushul Fiqh memberikan definisi/pengertian ‘Amm yang berbeda-beda, akan tetapi pada hakekatnya definisi tersebut mempunya pengertian yang sama. Para ulama itu antara lain sebagai berikut:
1) Menurut Ulama Hanafiyah:
كُلُّ لَفْظٍ يَنْتَظِمُ جَمْعًا سَوَاءٌ أَكَانَ بِاللَّفْظِ أَوْ بِالْمَعْنَى.
“Setiap lafazh yang mencakup banyak, baik secara lafazh maupun makna.”
2) Menurut ulama Syafi’iyah, diantaranya Al-Ghazali:
اللَّفْظُ الْوَاحِدُ الدَّالُ مِنْ جِهَةٍ وَاحِدَةٍ عَلَى شَيْئَيْنِ فَصَاعِدًا.
“Satu lafazh yang dari satu segi menunjukan dua makna atau lebih.”
3) Menurut Al-Bazdawi:
اللَّفْظُ الْمُسْتَغْرِقُ جَمِيْعَ مَا يَصْلُحُ لَهُ بِوَضْعٍ وَاحِدٍ.
“Lafazh yang mencangkup semua yang cocok untuk lafazh tersebut dengan satu kata.”

2. Pengertian Khash
Para ulama Ushul berbeda pendapat dalam memberikan definisi khash. Namun, pada hakekatnya definisi tersebut mempunyai pengertian yang sama. Definisi yang dapat dikemukakan di sini antara lain:
هو اللَّفْظُ الْمَوْضُوْعُ لِمَعْنَى وَاحِدٍ مَعْلُوْمٍ عَلَى اْلاِنْفِرَادِ.
“Suatu lafazh yang dipasangkan pada satu arti yang sudah diketahui dan manunggal.”
Sedangkan menurut Al-Bazdawi, definisi Khash adalah:
كُلّ ُلَفْظٍ وُضِعَ لِمَعْنَى وَاحِدٍ عَلَى اْلاِنْفِرَادِ وَانْقِطَاعِ اْلمُشَارَكَةِ.
“Setiap lafazh yang dipaksakan pada satu arti yang menyendiri, dan terhindar dari makna lain yang (musytarak).”
Dengan definisi di atas, ia akan mengeluarkan lafazh mutlaq dan musytarak dari bagian lafazh khash, dan bukan pula bagian dari lafazh ‘am. Pendapat ini dipegang pula oleh sebagian ulama Syafi’iyah.
Cara penunjukan lafazh atas satu arti ini bisa dalam berbagai bentuk, yaitu bentuk genius, seperti lafazh insanun dipasangkan pada hewan yang berpikir, atau berbentuk spesies (nau’un), seperti kata laki-laki dan wanita, atau berbentuk individual yang berbeda-beda tetapi terbatas, seperti bilangan angka-angka (3, 5, 100, dan seterusnya).
3. Mutlaq dan Muqayyad
- Mutlaq adalah nas yang menunjuk kepada satu pengertian saja dengan tiada kaitannya
pada ayat lain.
- Muqayyad adalah nas yang menunjuk kepada satu pengertian, akan tetapi pengertian
tersebut harus dikaitkan kepada adanya pengertian yang diberikan oleh ayat nas yang
lain.

4. Mujmal dan Mubayyan
- Mujmal adalah ayat yang menunjukkan kepada sesuatu pengertian yang tidak terang dan
tidak rinci, atau dapat juga dikatakan sebagai suatu lafaz yang memerlukan penafsiran
yang lebih jelas.
- Mubayyan adalah suatu ayat yang diperoleh pada ayat yang lain.

5. Muhkam dan Mutasyabih
- Muhkam adalah nas yang tidak memberikan keraguan lagi tentang apa yang
dimaksudkannya (nas yang sudah memberikan pengertian yang pasti).
- Mutasyabih adalah nas yang mengandung pengertian yang samar-samar dan
mempunyai kemungkinan beberapa arti.



C. KAIDAH-KAIDAH KEBAHASAAN

Dhamir (kata ganti)
Kaidah yang berkaitan dengan dhamir terdari dari:
 Pada dasarnya dhamir diletakkan untuk mempersingkat perkataan
 Setiap dhamir harus punya marji’ sebagai tempat kembalinya
 Pada dasarnya dhamir itu kembali pada tempat yang paling dekat
Penggunaan ism al-ma’rifat dan al-nakirat (ta’rif dan tankir)
Penggunaan ism al-ma’rifat mempunyai beberapa fungsi yang berbeda sesuai dengan macamnya;
 Ta’rif dengan ism al-dhamir berfungsi untuk menunjukkan keadaan
 Tarif dengan nama berfungsi untuk menghadirkan pemilik nama itu dalam hati
 pendengar dengan cara menyebutkan namanya yang khas, memuliakan (Q.S. 48:29) dan juga menghinakan (Q.S. 111:1)
 Ta’rif dengan ism al-isyarat (kata tunjuk) berfungsi untuk menjelaskan bahwa sesuatu yang ditunjuk itu jelas (Q.S. 31:11), menjelaskan keadaannya dengan menggunakan kata tunjuk jauh (Q.S. 2:5), menghinakan dengan memakai kata tunjuk dekat (Q.S. 29:64), memuliakan dengan memakai kata tunjuk jauh (Q.S. 2:2), dan mengingatkan bahwa sesuatu yang ditunjuk yang diberi beberapa sifat itu sangat layak dengan sifat yang disebutkan sesudah ism al-isyarat tersebut (Q.S. 2:2-5)
 Ta’rif dengan ism al-mausul (kata ganti penghubung) berfungsi untuk menunjukkan tidak disukainya menyebutkan nama sebenarnya untuk menutupi atau sebab lain (Q.S. 12:23), untuk menunjukkan arti umum (Q.S. 29-69), untuk meringkas kalimat (Q.S. 33:69)
 Ta’rif dengan alif-lam berfungsi untuk menunjukkan sesuatu yang sudah diketahui karena telah disebutkan (Q.S. 24:35), menunjukkan sesuatu yang sudah diketahui pendengar (Q.S. 48:18), menunjukkan sesuatu yang sudah diketahui karena ia hadir pada saat itu (Q.S. 5:3), mencakup semua satuannya (Q.S. 103:2), menunjukkan segala karakteristik jenis (Q.S. 2:2), menerangkan esensi, hakikat dan jenis (Q.S. 21:30).
Pengulangan kata benda (ism)
Apabila sebuah ism disebutkan dua kali maka dalam hal ini ada empat kemungkinan, yakni keduanya makrifah, keduanya nakirah, yang pertama nakirah sedang yang kedua makrifah , dan yang pertama makrifah dan yang kedua nakirah. Adapun kaidahnya adalah sebagai berikut:
 Apabila kedua-duanya makrifah maka pada umumnya yang kedua adalah hakikat yang pertama (Q.S. 1:6-7)
 Apabila keduanya nakirah, maka yang kedua biasanya bukan yang pertama (Q.S. 30:54)
 - Jika yang pertama nakirah dan yang kedua makrifah berarti, karena itulah yang sudah diketahui (Q.S. 73:15-16)
 Jika yang pertama makrifah dan yang kedua nakirah, berarti apa yang dimaksudkan bergantung pada qarinah hal mana terkadang qarinah menunjukkan bahwa keduanya itu berbeda (Q.S. 39:27-28)
Mufrad dan Jamak
Dalam al-Qur’an ada sebagian kata yang berbeda penggunaannya ketika berada dalam bentuk mufrad dan jamak. Adapun kaidahnya adalah sebagai berikut:
 Kata al-rih, dalam bentuk jamak berarti rahmat, sedangkan dalam bentuk mufrad berarti adzab. Hal ini menunjukkan bahwa rahmat Allah dimaknai lebih luas dari pada adzab-Nya
 Kata al-nur dan sabil al-haq selalu dalam bentuk mufrad, sedangkan kata al-dzulumat dan sabil al-bathil selalu dalam bentuk jamak. Ini menunjukkan bahwa jalan kebenaran hanya satu sedangkan jalan kebatilan sangat beragam. Kaidah yang sama juga berlaku untuk kalimat waliy al-mu’minin dan auliya al-kafirin.

Kata-kata yang seolah-olah sinonim (Mutaradif)
Dalam al-Qur’an banyak kata yang memiliki makna yang sama, namun seorang mufasir harus jeli dalam melihatnya, karena kata-kata tersebut seringkali memiliki makna yang berbeda. Beberapa kata yang termasuk dalam kaidah ini antara lain:
 al-khauf dan al-khasyyah yang berarti takut. Kata al-khasyah digunakan untuk menunjukkan rasa takut yang timbul karena agungnya pihak yang ditakuti meskipun pihak yang mengalami takut itu seorang yang kuat. Sedangkan kata al-khauf berarti rasa takut yang muncul karena lemahnya pihak yang merasa takut kendati pihak yang ditakuti itu merupakan hal yang kecil.
 al-syuhh dan al bukhl yang berarti kikir. Al-syuhh memiliki makna yang lebih dalam, yakni kikir yang disertai dengan ketamakan. Sedangkan al-bukhl hanya kikir saja.
Pertanyaan dan Jawaban
Pada dasarnya jawaban itu harus sesuai dengan pertanyaan. Apabila terjadi penyimpangan dari pertanyaan yang dikehendaki, hal ini mengingatkan bahwa jawaban itulah yang seharusnya ditanyakan.(Q.S. 2: 189)

E. KITAB-KITAB TAFSIR DAN PARA MUFASIRNYA
A. Bilma’tsur
* Tafsir Ibnu Jarir At-Thobari
Nama asli tafsir ini adalah Jami’ Al-bayan fi Tafsir Al-Qur’an, penulisnya adalah Imam Ibnu Jarir At-Thobari. Beliau dikenal dengan Abu Ja’far. Lahir 224 H dan wafat 310 H. Kitab beliau ini adalah kitab terbaik dalam ilmu tafsir. Bahkan menurut penilaian Imam An-Nawawi, kitab tafsir yang tidak ada bandingnya.
Keutamaan tafsir Ibnu Jarir ini diantaranya, karena ia bersumber dari hadis-hadis Nabi saw, komentar para sahabat dan tabiin. Juga karena keluasan penafsirannya yang meliputi nasikh dan mansukh, tarjih riwayat, keterangan kualitas hadis antara shahih dan dhaif, I’rob Al-qur’an dan istinbath (memberi kesimpulan) terhadap ayat-ayat hukum. Memang tak dapat dipungkiri ada beberapa kekurangan dalam tafsir ini seperti terdapatnya riwayat Israiliat yang tidak jelas. Walaupun demikian, para mufassir setelah Imam Ibnu Jarir menjadikan tafsir beliau sebagai referensi utama. Karena memang kualitas dan validitas tafsir ini tidak diragukan lagi.

* Tafsir As-Samarqandi
Ditulis oleh Imam Nasr bin Muhammad As-Samarqandi, dikenal dengan Abu Laits (Wafat 373 H). Kitab tafsir ini berjudul Bahrul Ulum dan tergolong sebagai tafsir bil ma’tsur. Dalam menulis tafsir ini, Al-Imam menempuh jalan penafsiran para sahabat dan tabiin. Beliau banyak mengutip komentar mereka tetapi tidak menyebut sanad-sanadnya. Beliau menegaskan bahwa seseorang tidak boleh menafsirkan Al-Qur’an semata-mata dengan rasionya sendiri sedang ia tidak mengerti kaedah-kaedah bahasa dan kondisi di saat Al-Qur’an itu turun. Ia harus memahami betul ilmu tafsir terlebih dahulu.
Manuskrif tafsir ini terdapat dalam dua jilid dan tiga jilid. Naskah aslinya terdapat di perpustakaan universitas Al-Azhar dan di Darul Kutb Al-Misriyah.

* Tafsir Al-Baghawi
Pengarang tafsir ini adalah Imam Husain bin Mas’ud Al-Farra’ Al-Baghawi. Beliau juga seorang faqih lagi muhaddist, bergelar Muhyi As-sunnah (yang menghidupkan sunnah). Beliau wafat tahun 510 H. Beliau memberi nama tafsirnya dengan Ma’alim At-Tanzil.
Dalam menafsirkan Al-Qur’an beliau mengutip atsar para salaf dengan meringkas sanad-sanadnya. Beliau juga membahas kaedah-kaedah tata bahasa dan hukum-hukum fiqh secara panjang lebar. Tafsir ini juga banyak memuat kisah-kisah dan cerita sehingga kita juga bisa menemukan diantaranya kisah-kisah Israiliat yang ternyata batil (menyelisihi syariat dan tak rasional). Namun secara umum, tafsir ini lebih baik dan lebih selamat dibanding sebagian kitab-kitab tafsir bil ma’tsur lain.
Imam Ibnu Taimiyah pernah ditanya tentang tafsir yang paling dekat dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah diantara Al-kassyaf, Al-Qurtubi atau Al-Baghawi. Beliau menjawab:”adapun diantara tiga tafsir yang ditanyakan, tafsir yang paling selamat dari bid’ah dan hadis dhaif adalah Tafsir Al-Baghawi, bahkan ia adalah ringkasan tafsir Atsa’labi dimana beliau menghapus hadis palsu dan bid’ah di dalamnya.”

* Tafsir Ibnu Atiyyah
Al-Muharrar Al-Wajiz fi Tafsir Al-Kitab Al-Aziz ialah nama asli tafsir ini. Penulisnya adalah Imam Abu Muhammad Abdul Haq bin gholib bin ‘Atiyyah Al-Andalusy. Beliau adalah seorang Qodhi yang adil, cerdas dan terkenal faqih. Ahli dalam hukum, hadis dan tafsir. Ibnu Khaldun menilai tafsir ini paling tinggi validitasnya. Adapun Ibnu Taimiyah dalam fatwanya mengungkapkan,”tafsir Ibnu ‘Atiyyah lebih baik dibandingkan tafsir Az-Zamakhsyari, lebih shahih dalam penukilan dan pembahasannya. Juga lebih jauh dari bid’ah…”
Namun sayang, kaum muslimin belum dapat mengkaji tafsir ini lebih jauh karena masih dalam bentuk manuskrif klasik dan kini masih tersimpan di Darul Kutb Al-Misriyah berjumlah sepuluh jilid besar.

* Tafsir Ibnu Katsir
Kitab tafsir buah karya Al-Hafizh Imaduddin Ismail bin Amr bin Katsir (700-774 H) ini adalah kitab yang paling masyhur dalam bidangnya. Kedudukannya berada pada posisi kedua setelah Tafsir Ibnu Jarir At-Thobari. Nama aslinya adalah Tafsir Al-Qur’an Al-Adzim. Tafsir yang diterima di khalayak ramai umat Islam.
Beliau menempuh metode tafsir bil ma’tsur dan benar-benar berpegang padanya. Ini diungkapkan sendiri oleh beliau dalam muqaddimah tafsirnya,: “bila ada yang bertanya, apa metode penafsiran yang terbaik? Jawabannya, metode terbaik ialah dengan menafsirkan Al-Qur’an dengan Al-Qur’an. Sesuatu yang global di sebuah ayat diperjelas di ayat lain. Bila engkau tidak menemukan penafsiran ayat itu, carilah di As-Sunnah karena ia berfungsi menjelaskan Al-Qur’an. Bahkan Imam Syafi’I menegaskan bahwa semua yang ditetapkan oleh Rasulullah saw, itulah hasil pemahaman beliau terhadap Al-Qur’an. Allah SWT berfirman: Sesungguhnya Kami menurunkan kepadamu Al-Kitab dengan kebenaran, agar engkau memutuskan perkara di antara manusia dengan apa yang Allah ajarkan kepadamu. (QS. An-Nisa’ 105) dan Rasul saw bersabda: sesungguhnya aku diberikan Al-Qur’an dan bersamanya yang semisal (As-sunnah).
Murid Imam Ibnu Taimiyah ini menafsirkan dengan menyertakan ilmu al-Jarh wa at-ta’dil. Hadis-hadis mungkar dan dhoif beliau tolak. Terlebih dahulu beliau menyebutkan ayat lalu ditafsirkan dengan bahasa yang mudah dipahami dan ringkas. Kemudian disertakan pula ayat-ayat lainnya sebagai syahidnya. Beberapa ulama setelah beliau telah mengambil inisiatif menulisnya dalam bentuk mukhtasar (ringkasan). Bahkan hingga saat ini.

* Tafsir As-Suyuthi
Kitab yang bernama Ad-Dur Al-Mantsur fi Tafsir bi Al-Ma’tsur ini ditulis oleh Imam Jalaluddin As-Suyuthi, ulama produktif yang memiliki ratusan karya cemerlang. Beliau lahir tahun 749 H dan wafat tahun 911 H.
Tafsir ini pada dasarnya adalah ringkasan dari kitab Tarjuman Al-Qur’an yang beliau karang sendiri. Beliau bermaksud meringkas hadis-hadis dengan hanya menyebutkan matannya saja tanpa menyertakan sanad yang panjang. Ini untuk menghindari kebosanan.
Imam As-Suyuthi menulis tafsir ini dengan mengutip riwayat-riwayat dari Al-bukhori, Mulim, An-Nasa’I, At-Tirmizi, Abu Daud, Ibnu Jarir, Ibnu Hatim dan lain-lain. Namun beliau tidak memilah antara riwayat shahih dan dhaif bahkan mencampur keduanya. Padahal beliau terkenal sebagai ahli riwayat dan sangat memahami seluk beluk ilmu hadis. Sehingga terkesan aneh bila kemampuan tersebut tidak dioptimalkan dalam tafsir ini. Namun berbeda dengan kitab tafsir lainnya, tafsir ini merupakan satu-satunya tafsir bil matsur yang hanya memuat hadits-hadits saja.
B. Bilra’yi
1. Tafsir Abdurrahman bin Kaisan al-Asam
2. Tafsir Abu ‘Ali al-Juba’i
3. Tafsir Abdul Jabbar
4. Tafsir az-Zamakhsyari, al-Kasyaf ‘an Haqa’iqi Gawamidit Tanzil wa “uyanil Aqawil fi Wujuhit Ta’wil
5. Tafsir Fakhruddin ar-Razi, Mafatihul Ghaib
6. Tafsir an-Nasafi, Madarikut Tanzil wa Haqaiqut Ta’wil
7. Tafsir al-Khazin, Lubabut Ta’wil fi Ma’ani Tanzil
8. Tafsir Abu Hayyan, al-Bahrul Muhit
9. Tafsir al-Baidlawi, Anwarut Tanzil wa Asrarut Ta’wil
10. Tafsir al-Jalalain, jalaluddin al-Mahalli dan Jalaluddin as-Suyuthi.
Judul: Ilmu Tafsir; Ditulis oleh Gemak Singo; Rating Blog: 5 dari 5

Tidak ada komentar:

Posting Komentar