Sabtu, 23 Oktober 2010

Ilmu Tafsir

A. PENGERTIAN
Secara etimologi tafsir bisa berarti Penjelasan, Pengungkapan, dan Menjabarkan kata yang samar.Adapun secara terminologi tafsir adalah penjelasan terhadap Kalamullah atau menjelaskan lafadz-lafadz al-Qur’an dan pemahamannya.
SEJRAH ILMU TAFSIR
Pertama, Tafsir Pada Zaman Nabi.
Al-Qur’an diturunkan dengan bahasa Arab sehingga mayoritas orang Arab mengerti makna dari ayat-ayat al-Qur’an. Sehingga banyak diantara mereka yang masuk Islam setelah mendengar bacaan al-Qur’an dan mengetahui kebenarannya. Akan tetapi tidak semua sahabat mengetahui makna yang terkandung dalam al-Qur’an, antara satu dengan yang lainnya sangat variatif dalam memahami isi dan kandungan al-Qur’an. Sebagai orang yang paling mengetahui makna al-Qur’an, Rasulullah selalu memberikan penjelasan kepada sahabatnya, sebagaimana firman Allah ,” keterangan-keterangan (mu’jizat) dan kitab-kitab.Dan Kami turunkan kepadamu al-Qur’an, agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka supaya mereka memikirkan, (QS. 16:44). Contohnya hadits yang diriwayatkan Muslim dari Uqbah bin ‘Amir berkata : “Saya mendengar Rasulullah berkhutbah diatas mimbar membaca firman Allah :
وأعدوا لهم ما استطعتم من قوة
kemudian Rasulullah bersabda :
ألا إن القوة الرمي
“Ketahuilah bahwa kekuatan itu pada memanah”.
Juga hadits Anas yang diriwayatkan Bukhori dan Muslim Rasulullah bersabda tentang Al-Kautsar adalah sungai yang Allah janjikan kepadaku (nanti) di surga.

Tafsir Pada Zaman Shohabat
Adapun metode sahabat dalam menafsirkan al-Qur’an adalah; Menafsirkan Al-Qur’an dengan Al-Qur’an, menafsirkan Al-Qur’an dengan sunnah Rasulullah, atau dengan kemampuan bahasa, adat apa yang mereka dengar dari Ahli kitab (Yahudi dan Nasroni) yang masuk Islam dan telah bagus keislamannya.
Diantara tokoh mufassir pada masa ini adalah: Khulafaurrasyidin (Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali), Abdullah bin Abbas, Abdullah bin Mas’ud, Ubay bin Ka’ab, Zaid bin Tsabit, Abdullah bin Zubair dan Aisyah. Namun yang paling banyak menafsirkan dari mereka adalah Ali bin Abi Tholib, Abdullah bin Mas’ud dan Abdullah bin Abbas yang mendapatkan do’a dari Rasulullah.
Penafsiran shahabat yang didapatkan dari Rasulullah kedudukannya sama dengan hadist marfu’. 3 Atau paling kurang adalah Mauquf. 4

Tafsir Pada Zaman Tabi’in
Metode penafsiran yang digunakan pada masa ini tidak jauh berbeda dengan masa sahabat, karena para tabi’in mengambil tafsir dari mereka. Dalam periode ini muncul beberapa madrasah untuk kajian ilmu tafsir diantaranya:
1)- Madrasah Makkah atau Madrasah Ibnu Abbas yang melahirkan mufassir terkenal seperti Mujahid bin Jubair, Said bin Jubair, Ikrimah Maula ibnu Abbas, Towus Al-Yamany dan ‘Atho’ bin Abi Robah.
2)- Madrasah Madinah atau Madrasah Ubay bin Ka’ab, yang menghasilkan pakar tafsir seperti Zaid bin Aslam, Abul ‘Aliyah dan Muhammad bin Ka’ab Al-Qurodli. Dan 3)- Madrasah Iraq atau Madrasah Ibnu Mas’ud, diantara murid-muridnya yang terkenal adalah Al-Qomah bin Qois, Hasan Al-Basry dan Qotadah bin Di’amah As-Sadusy.
Tafsir yang disepakati oleh para tabiin bisa menjadi hujjah, sebaliknya bila terjadi perbedaan diantara mereka maka satu pendapat tidak bisa dijadikan dalil atas pendapat yang lainnya. 5

Tafsir Pada Masa Pembukuan
Pembukuan tafsir dilakukan dalam lima periode yaitu;
Periode Pertama, pada zaman Bani Muawiyyah dan permulaan zaman Abbasiyah yang masih memasukkan ke dalam sub bagian dari hadits yang telah dibukukan sebelumnya. Periode Kedua, Pemisahan tafsir dari hadits dan dibukukan secara terpisah menjadi satu buku tersendiri. Dengan meletakkan setiap penafsiran ayat dibawah ayat tersebut, seperti yang dilakukan oleh Ibnu Jarir At-Thobary, Abu Bakar An-Naisabury, Ibnu Abi Hatim dan Hakim dalam tafsirannya, dengan mencantumkan sanad masing-masing penafsiran sampai ke Rasulullah, sahabat dan para tabi’in. Periode Ketiga, Membukukan tafsir dengan meringkas sanadnya dan menukil pendapat para ulama’ tanpa menyebutkan orangnya. Hal ini menyulitkan dalam membedakan antara sanad yang shahih dan yang dhaif yang menyebabkan para mufassir berikutnya mengambil tafsir ini tanpa melihat kebenaran atau kesalahan dari tafsir tersebut. Sampai terjadi ketika mentafsirkan ayat
غير المغضوب عليهم ولاالضالين
ada sepuluh pendapat, padahal para ulama’ tafsir sepakat bahwa maksud dari ayat tersebut adalah orang-orang Yahudi dan Nasroni. Periode Keempat, pembukuan tafsir banyak diwarnai dengan buku – buku tarjamahan dari luar Islam. Sehingga metode penafsiran bil aqly (dengan akal) lebih dominan dibandingkan dengan metode bin naqly ( dengan periwayatan). Pada periode ini juga terjadi spesialisasi tafsir menurut bidang keilmuan para mufassir. Pakar fiqih menafsirkan ayat Al-Qur’an dari segi hukum seperti Alqurtuby. Pakar sejarah melihatnya dari sudut sejarah seperti ats-Tsa’laby dan Al-Khozin dan seterusnya. Periode Kelima, tafsir maudhu’i yaitu membukukan tafsir menurut suatu pembahasan tertentu sesuai disiplin bidang keilmuan seperti yang ditulis oleh Ibnu Qoyyim dalam bukunya At-Tibyan fi Aqsamil Al-Qur’an, Abu Ja’far An-Nukhas dengan Nasih wal Mansukh, Al-Wahidi Dengan Asbabun Nuzul dan Al-Jassos dengan Ahkamul Qur’annya.

B. MACAM-MACAM TAFSIR BERDASARKAN SUMBERNYA
Pembagian Tafsir secara ilmiah, tafsir terbagi menjadi tiga bagian:
- Tafsir bil-ma’tsur ( bir-riwayah )
- Tafsir bir-ra’yi ( bid-dirayah )
- Tafsirul isyari ( bil-isyarah )
- Tafsir bil Izdiwaji ( campuran )
1. Tafsir bil-ma’tsurAdalah penafsiran Al Qur’an dengan Qur’an, atau dengan Hadits ataupun perkataan para Shahabat, untuk menjelaskan kepada sesuatu yang dikehendaki Allah swt.
2. Tafsir bir-ra’yiAdalah tafsir yang dalam menjelaskan maknanya, Mufassir hanya perpegang pada pemahaman sendiri. Dan penyimpulan (istinbath) yang didasarkan pada ra’yu semata.
Pembagian Tafsir bir-ra’yi:Tafsir bir-ra’yi terbagi menjadi dua bagian:
- Tafsir Mahmud
- Tafsir Madzmum
a. Tafsir Mahmud: Adalah suatu penafsiran yang sesuai dengan kehendak syari’at (penafsiran oleh orang yang menguasai aturan syari’at), jauh dari kebodohan dan kesesatan, sesuai dengan kaidah-kaidah bahasa arab, serta berpegang pada uslub-uslubnya dalam memahami nash-nash Qur’aniyah.
b. Tafsir al Madzmum: Adalah penafsiran Al Qur’an tanpa berdasarkan ilmu, atau mengikuti hawa nafsu dan kehendaknya sendiri, tanpa mengetahui kaidah-kaidah bahasa atau syari’ah. Atau dia menafsirkan ayat berdasarkan mazhabnya yang rusak maupun bid’ahnya yang tersesat.
Hukum Tafsir bir-ra’yi al Madzmum: Menafsirkan Al Qur’an dengan ra’yu dan Ijtihad semata tanpa ada dasar yang shahih adalah haram.
sabda Rasulullah saw:
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ قَالَ فِي الْقُرْآنِ بِغَيْرِ عِلْمٍ فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنْ النَّارِ
قَالَ أَبُو عِيسَى هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ صَحِيحٌ
Artinya:“ Dari Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhuma dia berkata, bersabda Rasulullah saw: “Barang siapa menafsirkan Al Qur’an dengan tanpa ilmu, maka siapkanlah tempatnya di neraka”.
3. Tafsir Isyari :Menurut kaum sufi setiap ayat mempunyai makna yang zahir dan batin. Yang zahir adalah yang segera mudah dipahami oleh akal pikiran sedangkan yang batin adalah yang isyarat-isyarat yang tersembunyi dibalik itu yang hanya dapat diketahui oleh ahlinya. Isyarat-isyarat kudus yang terdapat di balik ungkapan-ungkapan Al-Qur’an inilah yang akan tercurah ke dalam hati dari limpahan pengetahuan gaib yang dibawa ayat-ayat. Itulah yang biasa disebut tafsir Isyari.
4. Tafsir bil Izdiwaji ( Campuran ) Tafsir bil Izdiwaji disebut juga dengan metode campuran antara tafsir bil Matsur dan Tafsir bil Ra’yi yaitu menafsirkan Al-Qur’an yang didasarkan atas perpaduan antara sumber tafsir riwayat yang kuat dan shahih, dengan sumber hasil ijtihad akan pikiran yang sehat.
C. MACAM-MACAM TAFSIR BERDASARKAN METODENYA
1. Metode Tahlili (Analitik)Metode Tahlili adalah metode menafsirkan Al-Qur’an yang berusaha menjelaskan Al-Qur’an dengan menguraikan berbagai seginya dan menjelaskan apa yang dimaksudkan oleh Al-Qur’an. Metode ini adalah yang paling tua dan paling sering digunakan. Tafsir ini dilakukan secara berurutan ayat demi ayat kemudian surat demi surat dari awal hingga akhir sesuai dengan susunan Al-Qur’an. Dia menjelaskan kosa kata dan lafazh, menjelaskan arti yang dikehendaki, sasaran yang dituju dan kandungan ayat, yaitu unsur-unsur I’jaz, balaghah, dan keindahan susunan kalimat, menjelaskan apa yang dapat diambil dari ayat yaitu hukum fikih, dalil syar’i, arti secara bahasa, norma-norma akhlak dan lain sebagainya.
2. Metode Ijmali (Global)Metode ini adalah berusaha menafsirkan Al-Qur’an secara singkat dan global, dengan menjelaskan makna yang dimaksud tiap kalimat dengan bahasa yang ringkas sehingga mudah dipahami. Urutan penafsiran sama dengan metode tahlili namun memiliki perbedaan dalam hal penjelasan yang singkat dan tidak panjang lebar. Keistimewaan tafsir ini ada pada kemudahannya sehingga dapat dikonsumsi oleh lapisan dan tingkatan kaum muslimin secara merata. Sedangkan kelemahannya ada pada penjelasannya yang terlalu ringkas sehingga tidak dapat menguak makna ayat yang luas dan tidak dapat menyelesaikan masalah secara tuntas.
3. Metode MuqarinTafsir ini menggunakan metode perbandingan antara ayat dengan ayat, atau ayat dengan hadits, atau antara pendapat-pendapat para ulama tafsir dengan menonjolkan perbedaan tertentu dari obyek yang diperbandingkan itu.
4. Metode Maudhu’i (Tematik)Metode ini adalah metode tafsir yang berusaha mencari jawaban Al-Qur’an dengan cara mengumpulkan ayat-ayat Al-Qur’an yang mempunyai tujuan satu, yang bersama-sama membahas topik/judul tertentu dan menertibkannya sesuai dengan masa turunnya selaras dengan sebab-sebab turunnya, kemudian memperhatikan ayat-ayat tersebut dengan penjelasan-penjelasan, keterangan-keterangan dan hubungan-hubungannya dengan ayat-ayat lain kemudian mengambil hukum-hukum darinya.
D. KAIDAH-KAIDAH TAFSIR
A. PENGERTIAN QAWAID TAFSIR
Menurut bahasa, Qawaid artinya kaidah-kaidah atau prinsip-prinsip dasar tafsir. Sedangkan yang dimaksud Qawaid Tafsir dalam hal ini ialah kaidah-kaidah yang diperlukan oleh para mufasir dalam memahami ayat-ayat Al-Qur’an.
Kaidah-kaidah yang diperlukan para mufasir dalam memahami Al-Qur’an meliputi penghayatan uslub-uslubnya, pemahaman asal-asalnya, penguasaan rahasia-rahasianya dan kaidah-kaidah kebahasaan.
B. MACAM-MACAM QAWAID TAFSIR

Orang yang hendak menafsirkan ayat-ayat suci Al-Qur’an, lebih dahulu harus tahu dan memahami beberapa kaidah-kaidah yang erat kaitannya dengan pemahaman makna kalimat yang hendak ditafsirkan.
Ada beberapa macam Qawaid Tafsir, seperti :
1. Mantuq dan Mafhum
a. Al-Mantuq secara bahasa adalah sesuatu yang di tunjukkan oleh lafazh pada saat di ucapkannya. Yakni bahwa penunjukan makna berdasarkan materi huruf-huruf yang di ucapkan.Secara istilah Dilalah Mantuq adalah penunjukan lafal terhadap langsung lafal yang tertulis, maka cara seperti ini disebut pemahaman secara Mantuq. Misalnya, hukum yag di pahami langsung dari teks Firman Allah padasurat Al-Isra ayat 23 :

“Dan Tuhanmu Telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengansebaik-baiknya. jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia”
Dengan menggunakan pemahaman secara Mantuq ayat ini menujukan haramnya mengucapkan “ah” dan membentak kedua orang tua. Larangan atau haramnya hal tersebut langsung tertulis dan di tunjukan dalam ayat ini.

b. Mafhum adalah penunjukan lafal yang tidak diucapkan, atau dengan kata lain penunjukan lafal terhadap suatu hukum yang tidak di sebutkan atau menetapkan pengertian kebalikan dari pengertian lafal yang di ucapkan (bagi sesuatu yang tidak di ucapkan)
Penerapan definisi ini dapat dilihat dari firman Allah Surat Al-Isra :23
“Dan Tuhanmu Telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengansebaik-baiknya. jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia”
Secara Mantuq, hukum yang dapat di tarik dari ayat ini adalah haramnya mengucap kata “ah” dan menghardik orang tua. Dari ayat ini dapat juga di gunakan mafhum, dimana melaluinya dapat diketahui haram hukumnya menghardik orang tua dan segala bentuk perbuatan yang menyakiti keduanya.
2. Pembagian Mafhum
Mafhum dibedakan menjadi dua bagian, yakni:
a. Mafhum Muwafaqah
yaitu apabila hukum yang dipahamkan sama dengan hukum yang ditunjukkan oleh bunyi lafadz. Mafhum muwafaqah ini dibagi menjadi dua bagian:
-) Fahwal Khitab
yaitu apabila yang dipahamkan lebih utama hukumnya daripada yang diucapkan. Seperti memukul orang tua tidak boleh hukumnya, firman Allah SWT .
“jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia”
Maka dapat dapat disimpulkan bahwa kata-kata yang keji saja tidak boleh apalagi memukulnya.
-) Lahnal Khitab
yaitu apabila yang tidak diucapkan sama hukumnya dengan diucapkan. Seperti memakan (membakar) harta anak yatim tidak boleh berdasarkan firman Allah SWT:(Q.S An-Nisa ayat 10)
“Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim, Sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka).”
Membakar atau setiap cara yang menghabiskan harta anak yatim sama hukumnya dengan memakan harta anak tersebut ang berarti dilarang (haram)


2. ‘Am dan Khash
A. Pengertian
1. Pengertian ‘Amm
a. Menurut Bahasa (Etimologi)
‘Amm menurut bahasa bahasa adalah : شُمُوْلُ أَمْرٍ لِمُتَعَدِّدٍ artinya : Mencakup sesuatu yang berbilang-bilang (tidak terbatas).
b. Menurut Istilah (Terminologi)
Sedangkan ‘Amm menurut istilah adalah :
اللَّفْظُ الْمُسْتَغْرِقُ لِجَمِيْعِ مَا يَصْلُحُ لَهُ بِحَسَبِ وَضْعٍ وَاحِدٍ دَفْعَةً.
Artinya : Lafazh yang mencakup semua yang cocok untuk lafazh tersebut dengan satu kata sekaligus. Contohnya kata الرِّجَالُ yang berarti kaum laki-laki. Maka semua laki-laki di dunia ini masuk dalam kata الرِّجَالُ . Sebagai contoh firman Allah SWT dalam surat An-Nisa ayat: 34 yang menerangkan tentang kedudukan kaum laki-laki atas kaum perempuan:
ﭑ ﭒ ﭓ ﭔ ﭕ ﭖ ﭗ ﭘ ﭙ ﭚ ﭽ النساء: ٣٤
“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita).”
(Q.S.Annisa: 34)
Yang dimaksud laki-laki di sini bukan hanya laki-laki Arab atau laki-laki yang beragama islam saja, tapi semua laki-laki yang ada di muka bumi ini.
c. Menurut para ulama
Para ulama Ushul Fiqh memberikan definisi/pengertian ‘Amm yang berbeda-beda, akan tetapi pada hakekatnya definisi tersebut mempunya pengertian yang sama. Para ulama itu antara lain sebagai berikut:
1) Menurut Ulama Hanafiyah:
كُلُّ لَفْظٍ يَنْتَظِمُ جَمْعًا سَوَاءٌ أَكَانَ بِاللَّفْظِ أَوْ بِالْمَعْنَى.
“Setiap lafazh yang mencakup banyak, baik secara lafazh maupun makna.”
2) Menurut ulama Syafi’iyah, diantaranya Al-Ghazali:
اللَّفْظُ الْوَاحِدُ الدَّالُ مِنْ جِهَةٍ وَاحِدَةٍ عَلَى شَيْئَيْنِ فَصَاعِدًا.
“Satu lafazh yang dari satu segi menunjukan dua makna atau lebih.”
3) Menurut Al-Bazdawi:
اللَّفْظُ الْمُسْتَغْرِقُ جَمِيْعَ مَا يَصْلُحُ لَهُ بِوَضْعٍ وَاحِدٍ.
“Lafazh yang mencangkup semua yang cocok untuk lafazh tersebut dengan satu kata.”

2. Pengertian Khash
Para ulama Ushul berbeda pendapat dalam memberikan definisi khash. Namun, pada hakekatnya definisi tersebut mempunyai pengertian yang sama. Definisi yang dapat dikemukakan di sini antara lain:
هو اللَّفْظُ الْمَوْضُوْعُ لِمَعْنَى وَاحِدٍ مَعْلُوْمٍ عَلَى اْلاِنْفِرَادِ.
“Suatu lafazh yang dipasangkan pada satu arti yang sudah diketahui dan manunggal.”
Sedangkan menurut Al-Bazdawi, definisi Khash adalah:
كُلّ ُلَفْظٍ وُضِعَ لِمَعْنَى وَاحِدٍ عَلَى اْلاِنْفِرَادِ وَانْقِطَاعِ اْلمُشَارَكَةِ.
“Setiap lafazh yang dipaksakan pada satu arti yang menyendiri, dan terhindar dari makna lain yang (musytarak).”
Dengan definisi di atas, ia akan mengeluarkan lafazh mutlaq dan musytarak dari bagian lafazh khash, dan bukan pula bagian dari lafazh ‘am. Pendapat ini dipegang pula oleh sebagian ulama Syafi’iyah.
Cara penunjukan lafazh atas satu arti ini bisa dalam berbagai bentuk, yaitu bentuk genius, seperti lafazh insanun dipasangkan pada hewan yang berpikir, atau berbentuk spesies (nau’un), seperti kata laki-laki dan wanita, atau berbentuk individual yang berbeda-beda tetapi terbatas, seperti bilangan angka-angka (3, 5, 100, dan seterusnya).
3. Mutlaq dan Muqayyad
- Mutlaq adalah nas yang menunjuk kepada satu pengertian saja dengan tiada kaitannya
pada ayat lain.
- Muqayyad adalah nas yang menunjuk kepada satu pengertian, akan tetapi pengertian
tersebut harus dikaitkan kepada adanya pengertian yang diberikan oleh ayat nas yang
lain.

4. Mujmal dan Mubayyan
- Mujmal adalah ayat yang menunjukkan kepada sesuatu pengertian yang tidak terang dan
tidak rinci, atau dapat juga dikatakan sebagai suatu lafaz yang memerlukan penafsiran
yang lebih jelas.
- Mubayyan adalah suatu ayat yang diperoleh pada ayat yang lain.

5. Muhkam dan Mutasyabih
- Muhkam adalah nas yang tidak memberikan keraguan lagi tentang apa yang
dimaksudkannya (nas yang sudah memberikan pengertian yang pasti).
- Mutasyabih adalah nas yang mengandung pengertian yang samar-samar dan
mempunyai kemungkinan beberapa arti.



C. KAIDAH-KAIDAH KEBAHASAAN

Dhamir (kata ganti)
Kaidah yang berkaitan dengan dhamir terdari dari:
 Pada dasarnya dhamir diletakkan untuk mempersingkat perkataan
 Setiap dhamir harus punya marji’ sebagai tempat kembalinya
 Pada dasarnya dhamir itu kembali pada tempat yang paling dekat
Penggunaan ism al-ma’rifat dan al-nakirat (ta’rif dan tankir)
Penggunaan ism al-ma’rifat mempunyai beberapa fungsi yang berbeda sesuai dengan macamnya;
 Ta’rif dengan ism al-dhamir berfungsi untuk menunjukkan keadaan
 Tarif dengan nama berfungsi untuk menghadirkan pemilik nama itu dalam hati
 pendengar dengan cara menyebutkan namanya yang khas, memuliakan (Q.S. 48:29) dan juga menghinakan (Q.S. 111:1)
 Ta’rif dengan ism al-isyarat (kata tunjuk) berfungsi untuk menjelaskan bahwa sesuatu yang ditunjuk itu jelas (Q.S. 31:11), menjelaskan keadaannya dengan menggunakan kata tunjuk jauh (Q.S. 2:5), menghinakan dengan memakai kata tunjuk dekat (Q.S. 29:64), memuliakan dengan memakai kata tunjuk jauh (Q.S. 2:2), dan mengingatkan bahwa sesuatu yang ditunjuk yang diberi beberapa sifat itu sangat layak dengan sifat yang disebutkan sesudah ism al-isyarat tersebut (Q.S. 2:2-5)
 Ta’rif dengan ism al-mausul (kata ganti penghubung) berfungsi untuk menunjukkan tidak disukainya menyebutkan nama sebenarnya untuk menutupi atau sebab lain (Q.S. 12:23), untuk menunjukkan arti umum (Q.S. 29-69), untuk meringkas kalimat (Q.S. 33:69)
 Ta’rif dengan alif-lam berfungsi untuk menunjukkan sesuatu yang sudah diketahui karena telah disebutkan (Q.S. 24:35), menunjukkan sesuatu yang sudah diketahui pendengar (Q.S. 48:18), menunjukkan sesuatu yang sudah diketahui karena ia hadir pada saat itu (Q.S. 5:3), mencakup semua satuannya (Q.S. 103:2), menunjukkan segala karakteristik jenis (Q.S. 2:2), menerangkan esensi, hakikat dan jenis (Q.S. 21:30).
Pengulangan kata benda (ism)
Apabila sebuah ism disebutkan dua kali maka dalam hal ini ada empat kemungkinan, yakni keduanya makrifah, keduanya nakirah, yang pertama nakirah sedang yang kedua makrifah , dan yang pertama makrifah dan yang kedua nakirah. Adapun kaidahnya adalah sebagai berikut:
 Apabila kedua-duanya makrifah maka pada umumnya yang kedua adalah hakikat yang pertama (Q.S. 1:6-7)
 Apabila keduanya nakirah, maka yang kedua biasanya bukan yang pertama (Q.S. 30:54)
 - Jika yang pertama nakirah dan yang kedua makrifah berarti, karena itulah yang sudah diketahui (Q.S. 73:15-16)
 Jika yang pertama makrifah dan yang kedua nakirah, berarti apa yang dimaksudkan bergantung pada qarinah hal mana terkadang qarinah menunjukkan bahwa keduanya itu berbeda (Q.S. 39:27-28)
Mufrad dan Jamak
Dalam al-Qur’an ada sebagian kata yang berbeda penggunaannya ketika berada dalam bentuk mufrad dan jamak. Adapun kaidahnya adalah sebagai berikut:
 Kata al-rih, dalam bentuk jamak berarti rahmat, sedangkan dalam bentuk mufrad berarti adzab. Hal ini menunjukkan bahwa rahmat Allah dimaknai lebih luas dari pada adzab-Nya
 Kata al-nur dan sabil al-haq selalu dalam bentuk mufrad, sedangkan kata al-dzulumat dan sabil al-bathil selalu dalam bentuk jamak. Ini menunjukkan bahwa jalan kebenaran hanya satu sedangkan jalan kebatilan sangat beragam. Kaidah yang sama juga berlaku untuk kalimat waliy al-mu’minin dan auliya al-kafirin.

Kata-kata yang seolah-olah sinonim (Mutaradif)
Dalam al-Qur’an banyak kata yang memiliki makna yang sama, namun seorang mufasir harus jeli dalam melihatnya, karena kata-kata tersebut seringkali memiliki makna yang berbeda. Beberapa kata yang termasuk dalam kaidah ini antara lain:
 al-khauf dan al-khasyyah yang berarti takut. Kata al-khasyah digunakan untuk menunjukkan rasa takut yang timbul karena agungnya pihak yang ditakuti meskipun pihak yang mengalami takut itu seorang yang kuat. Sedangkan kata al-khauf berarti rasa takut yang muncul karena lemahnya pihak yang merasa takut kendati pihak yang ditakuti itu merupakan hal yang kecil.
 al-syuhh dan al bukhl yang berarti kikir. Al-syuhh memiliki makna yang lebih dalam, yakni kikir yang disertai dengan ketamakan. Sedangkan al-bukhl hanya kikir saja.
Pertanyaan dan Jawaban
Pada dasarnya jawaban itu harus sesuai dengan pertanyaan. Apabila terjadi penyimpangan dari pertanyaan yang dikehendaki, hal ini mengingatkan bahwa jawaban itulah yang seharusnya ditanyakan.(Q.S. 2: 189)

E. KITAB-KITAB TAFSIR DAN PARA MUFASIRNYA
A. Bilma’tsur
* Tafsir Ibnu Jarir At-Thobari
Nama asli tafsir ini adalah Jami’ Al-bayan fi Tafsir Al-Qur’an, penulisnya adalah Imam Ibnu Jarir At-Thobari. Beliau dikenal dengan Abu Ja’far. Lahir 224 H dan wafat 310 H. Kitab beliau ini adalah kitab terbaik dalam ilmu tafsir. Bahkan menurut penilaian Imam An-Nawawi, kitab tafsir yang tidak ada bandingnya.
Keutamaan tafsir Ibnu Jarir ini diantaranya, karena ia bersumber dari hadis-hadis Nabi saw, komentar para sahabat dan tabiin. Juga karena keluasan penafsirannya yang meliputi nasikh dan mansukh, tarjih riwayat, keterangan kualitas hadis antara shahih dan dhaif, I’rob Al-qur’an dan istinbath (memberi kesimpulan) terhadap ayat-ayat hukum. Memang tak dapat dipungkiri ada beberapa kekurangan dalam tafsir ini seperti terdapatnya riwayat Israiliat yang tidak jelas. Walaupun demikian, para mufassir setelah Imam Ibnu Jarir menjadikan tafsir beliau sebagai referensi utama. Karena memang kualitas dan validitas tafsir ini tidak diragukan lagi.

* Tafsir As-Samarqandi
Ditulis oleh Imam Nasr bin Muhammad As-Samarqandi, dikenal dengan Abu Laits (Wafat 373 H). Kitab tafsir ini berjudul Bahrul Ulum dan tergolong sebagai tafsir bil ma’tsur. Dalam menulis tafsir ini, Al-Imam menempuh jalan penafsiran para sahabat dan tabiin. Beliau banyak mengutip komentar mereka tetapi tidak menyebut sanad-sanadnya. Beliau menegaskan bahwa seseorang tidak boleh menafsirkan Al-Qur’an semata-mata dengan rasionya sendiri sedang ia tidak mengerti kaedah-kaedah bahasa dan kondisi di saat Al-Qur’an itu turun. Ia harus memahami betul ilmu tafsir terlebih dahulu.
Manuskrif tafsir ini terdapat dalam dua jilid dan tiga jilid. Naskah aslinya terdapat di perpustakaan universitas Al-Azhar dan di Darul Kutb Al-Misriyah.

* Tafsir Al-Baghawi
Pengarang tafsir ini adalah Imam Husain bin Mas’ud Al-Farra’ Al-Baghawi. Beliau juga seorang faqih lagi muhaddist, bergelar Muhyi As-sunnah (yang menghidupkan sunnah). Beliau wafat tahun 510 H. Beliau memberi nama tafsirnya dengan Ma’alim At-Tanzil.
Dalam menafsirkan Al-Qur’an beliau mengutip atsar para salaf dengan meringkas sanad-sanadnya. Beliau juga membahas kaedah-kaedah tata bahasa dan hukum-hukum fiqh secara panjang lebar. Tafsir ini juga banyak memuat kisah-kisah dan cerita sehingga kita juga bisa menemukan diantaranya kisah-kisah Israiliat yang ternyata batil (menyelisihi syariat dan tak rasional). Namun secara umum, tafsir ini lebih baik dan lebih selamat dibanding sebagian kitab-kitab tafsir bil ma’tsur lain.
Imam Ibnu Taimiyah pernah ditanya tentang tafsir yang paling dekat dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah diantara Al-kassyaf, Al-Qurtubi atau Al-Baghawi. Beliau menjawab:”adapun diantara tiga tafsir yang ditanyakan, tafsir yang paling selamat dari bid’ah dan hadis dhaif adalah Tafsir Al-Baghawi, bahkan ia adalah ringkasan tafsir Atsa’labi dimana beliau menghapus hadis palsu dan bid’ah di dalamnya.”

* Tafsir Ibnu Atiyyah
Al-Muharrar Al-Wajiz fi Tafsir Al-Kitab Al-Aziz ialah nama asli tafsir ini. Penulisnya adalah Imam Abu Muhammad Abdul Haq bin gholib bin ‘Atiyyah Al-Andalusy. Beliau adalah seorang Qodhi yang adil, cerdas dan terkenal faqih. Ahli dalam hukum, hadis dan tafsir. Ibnu Khaldun menilai tafsir ini paling tinggi validitasnya. Adapun Ibnu Taimiyah dalam fatwanya mengungkapkan,”tafsir Ibnu ‘Atiyyah lebih baik dibandingkan tafsir Az-Zamakhsyari, lebih shahih dalam penukilan dan pembahasannya. Juga lebih jauh dari bid’ah…”
Namun sayang, kaum muslimin belum dapat mengkaji tafsir ini lebih jauh karena masih dalam bentuk manuskrif klasik dan kini masih tersimpan di Darul Kutb Al-Misriyah berjumlah sepuluh jilid besar.

* Tafsir Ibnu Katsir
Kitab tafsir buah karya Al-Hafizh Imaduddin Ismail bin Amr bin Katsir (700-774 H) ini adalah kitab yang paling masyhur dalam bidangnya. Kedudukannya berada pada posisi kedua setelah Tafsir Ibnu Jarir At-Thobari. Nama aslinya adalah Tafsir Al-Qur’an Al-Adzim. Tafsir yang diterima di khalayak ramai umat Islam.
Beliau menempuh metode tafsir bil ma’tsur dan benar-benar berpegang padanya. Ini diungkapkan sendiri oleh beliau dalam muqaddimah tafsirnya,: “bila ada yang bertanya, apa metode penafsiran yang terbaik? Jawabannya, metode terbaik ialah dengan menafsirkan Al-Qur’an dengan Al-Qur’an. Sesuatu yang global di sebuah ayat diperjelas di ayat lain. Bila engkau tidak menemukan penafsiran ayat itu, carilah di As-Sunnah karena ia berfungsi menjelaskan Al-Qur’an. Bahkan Imam Syafi’I menegaskan bahwa semua yang ditetapkan oleh Rasulullah saw, itulah hasil pemahaman beliau terhadap Al-Qur’an. Allah SWT berfirman: Sesungguhnya Kami menurunkan kepadamu Al-Kitab dengan kebenaran, agar engkau memutuskan perkara di antara manusia dengan apa yang Allah ajarkan kepadamu. (QS. An-Nisa’ 105) dan Rasul saw bersabda: sesungguhnya aku diberikan Al-Qur’an dan bersamanya yang semisal (As-sunnah).
Murid Imam Ibnu Taimiyah ini menafsirkan dengan menyertakan ilmu al-Jarh wa at-ta’dil. Hadis-hadis mungkar dan dhoif beliau tolak. Terlebih dahulu beliau menyebutkan ayat lalu ditafsirkan dengan bahasa yang mudah dipahami dan ringkas. Kemudian disertakan pula ayat-ayat lainnya sebagai syahidnya. Beberapa ulama setelah beliau telah mengambil inisiatif menulisnya dalam bentuk mukhtasar (ringkasan). Bahkan hingga saat ini.

* Tafsir As-Suyuthi
Kitab yang bernama Ad-Dur Al-Mantsur fi Tafsir bi Al-Ma’tsur ini ditulis oleh Imam Jalaluddin As-Suyuthi, ulama produktif yang memiliki ratusan karya cemerlang. Beliau lahir tahun 749 H dan wafat tahun 911 H.
Tafsir ini pada dasarnya adalah ringkasan dari kitab Tarjuman Al-Qur’an yang beliau karang sendiri. Beliau bermaksud meringkas hadis-hadis dengan hanya menyebutkan matannya saja tanpa menyertakan sanad yang panjang. Ini untuk menghindari kebosanan.
Imam As-Suyuthi menulis tafsir ini dengan mengutip riwayat-riwayat dari Al-bukhori, Mulim, An-Nasa’I, At-Tirmizi, Abu Daud, Ibnu Jarir, Ibnu Hatim dan lain-lain. Namun beliau tidak memilah antara riwayat shahih dan dhaif bahkan mencampur keduanya. Padahal beliau terkenal sebagai ahli riwayat dan sangat memahami seluk beluk ilmu hadis. Sehingga terkesan aneh bila kemampuan tersebut tidak dioptimalkan dalam tafsir ini. Namun berbeda dengan kitab tafsir lainnya, tafsir ini merupakan satu-satunya tafsir bil matsur yang hanya memuat hadits-hadits saja.
B. Bilra’yi
1. Tafsir Abdurrahman bin Kaisan al-Asam
2. Tafsir Abu ‘Ali al-Juba’i
3. Tafsir Abdul Jabbar
4. Tafsir az-Zamakhsyari, al-Kasyaf ‘an Haqa’iqi Gawamidit Tanzil wa “uyanil Aqawil fi Wujuhit Ta’wil
5. Tafsir Fakhruddin ar-Razi, Mafatihul Ghaib
6. Tafsir an-Nasafi, Madarikut Tanzil wa Haqaiqut Ta’wil
7. Tafsir al-Khazin, Lubabut Ta’wil fi Ma’ani Tanzil
8. Tafsir Abu Hayyan, al-Bahrul Muhit
9. Tafsir al-Baidlawi, Anwarut Tanzil wa Asrarut Ta’wil
10. Tafsir al-Jalalain, jalaluddin al-Mahalli dan Jalaluddin as-Suyuthi.
Baca Selengkapnya ...
Kamis, 21 Oktober 2010
KUMPULAN KAIDAH USHUL FIQIH DAN PENJELASANNYA

Amar dan kaidah-kaidahnya
ا لأ مــر هــو طــلــب ا لــفــعــل مــن ا لأ عــلى ا لى ا لأ د نى
ِAmar adalah tuntutan melakukan pekerjaan dari orang yang derajatnya lebih tinggi kepada orang yang derajatnya lebih rendah.

Bentuk – Bentuk Amar
1. Fiil Amar co : QS 17 : 79
2. Fiil Mudhori yang didahului lam amr co QS 65 : 7
3. Lafad-lafad قــضى - كــتــب - و جــب - فــر ض
4. Isim Fiil Amar عــلــيــكــم
5. Masdar pengganti fiil co ا حـــســا نـا co QS 2 : 83
6. Kalam Khobar bermakna Insya co QS 2 : 228

Makna Amar selain makna perintah
1. boleh co QS 2: 60
2. ancaman co أ عــمــلـو ا مـا شــئــتــم
3. Sunah co : 24 : 33
4. petunjuk co QS 2 : 282
5. memuliakan co 15 : 46
6. menyamakan co QS 52 : 16
7. Penghinaan QS 2 : 65
8. Melemahkan QS 2 : 23
9. pernyataan terhadap nikmat ( imtinan ) co QS 6: 142
10. Penciptaan co 36 : 82
11. Penyerahan ( tafwid ) QS toha : 72
12. Mendustakan 2: 111
13. sedih ( talhif ) 3: 119
14. permohonan ( doa ) 2 : 201
15. Permintaan biasa co. mainlah kerumahku
16. angan-angan ( tamanni ) co memohon semoga muda kembali
17. sopan santun co hadits agar makan makanan yang letaknya dekat dengan tempat duduk.

Kaidah-kaidah AMR

ا لأ صــل فى ا لأ مــر لـلــو جـو ب

Asal dalam perintah menunjukan arti wajib
ا لأ صــل فى ا لأ مــر لـلــو جـو ب و لا تـد لّ عـلى غـيـره ا لأ بــقــر يــنــة
Asal dalam perintah menunjukan arti wajib` kecuali ada dalil yang memalingkanya.

ا لأ صــل فى ا لأ مــر لأ يــقــتـضى ا لــتــكــرا ر
Asal dalam perintah tidak menghendaki pengulangan

ا لــحــكــم يــد و ر مــع ا لــعــلّـة و جـو دا و عــد مـا
Hokum itu berkisar pada : ada atau tidak adanya illat

ا لأ صــل فى الأ مــر لا يــقـتـضى ا لــفــو ر
Asal dari perintah tidak menunjukan segera.

ا لأ مــر بــا لــشــيـئ أ مــر بــو ســا ئــلــه حـكــم ا لــمــقــا صــد
Perintah kepada sesuatu menjadi perintah pada perantaranya. Dan perantara itu hukumnya sama dengan yang dimakasud

مـا لأ يــتــم ا لــو ا جــب ا لا بـه فــهــو و ا جــب
Tidak akan sempurna suatu kewajiban kecuali dengan sesuatu yang lain, maka sesuatu yang lain itu pun hukumnya menjadi wajib.

ا لأ مــر بــا لــشــيئ نــهــي عـن ضــدّ ه
Perintah terhadap sesuatu merupakan larangan dari sebaliknya.

ا لأ مــر بــعـد ا لــنـهـى يــفــيــد ا لأ بــا حــة
Perintah yang jatuh setelah adanya larangan hukumnya adalah boleh.

Kaidah NAHI ( larangan )
ا لــنـهـي هـو طــلـب ا لــكــفّ عـن فــعــل مـن ا لأ عــلى ا لى ا لأ د نى
Laranga adalah tuntutan untuk meninggalkan perbuatan dari orang yang lebih tinggi derajatnya kepada yang rendah.

Bentuk – Bentuk nahi
1. Fiil nahi 17 : 32
2. Fiil mudori 56 : 79
3. lafal-lafal larangan حـرم – ا حــذ ر – ا تــر ك - خـطـر – نـهـى – د ع – ذ ر

Makna Nahi selain larangan
1. makruh co hdits larang solat dikandang onta
2. harapan, doa 2 : 286
3. petunjuk 5 : 101
4. menghibur ( I’tinas ) 9: 40
5. angan-angan 32: 12
6. biasa ( iltimas ) co jangan main kesana
7. menjelaskan suatu akibat. Co menganggap mati orang jihad fisabililah 3 : 169
8. menjelaskan ( tanbih ) co jangan melarang jika engkau mengerjakan

KAidahkaidah NAHI
ا لأ صــل فـى ا لــنــهـى لـلــتــحــر يــم
Asal pada larangan menunjukan arti haram

ا لــنــهــى عـن ا لــشــيـئ أ مــر بــضــد ه
Larangan terhadap sesuatu berarti perintah kebalikannya.

ا لأ صــل فـى ا لــنــهــى يــقــتــضـى ا لــفــســا د مــطــلــقـا
Asal larangan akan mengakibatkan kerusakan secara mutlak

ا لأ صــل فـى ا لــنــهـى يــقــتــضـى ا لــــتـكــر ا ر مـطــــلــقــا
Asal dalam larangan menghendaki adanya pengulangan seanjang masa.


‘AM ( UMUM )
ا لـعـا م هـو ا لـلــفـظ ا لـمـسـتــغـر ق لـجـمـيـع مـا يـصـلـح و ضـع و ا حـد د فـعـة
‘Am adlah lafal yang menujukan pengertian umum yang mencakup satuan-satuan ( afrad) yang ada dalam lafal itu tanpa pembatasan jumlah tettentu.

Menurut jumhur ulama, ‘am dibangun dari khas. Oleh karena itu khas lebih kuat dari ‘am. Maka ‘am dapat digugurkan ketika ditemukan khas. Sedangka khas tidak dapat digugurkan dengan adanya ‘amm.

Lafal-Lafal Yang menujukan ‘AMM
1. كــل ّ يشى جــمــيــع
2 ا ل تــعــر يــف ا لــجــنــس " ا لــبــيـع يـنــقـل ا لـمــلـكــيّــة لــفـظ ا لـمأأفـر د مـع
3. lafal jama yang dimakrifatkan dengan alif lamtarif jinsi
4. lafal mufrod da jama yg dimakrifatkan dg idofat co و ا مـا بــنـعـمــة ر بـك
5. isim – isim maushul
6. isim-isim isyarat
7. isim –isim istifham
8. Isim nakiroh yang dinafikan co لا هـجـر ة بــعـد ا لــفــتـح

KAIDAH ‘AM

ا لـعـمـو م لا يـتصـو ر ا لأ حــكت م
Keumuman itu tidak mengambarkan suatu hokum.

ا لـمـفـهـو م لـه عـمـو م
Makna yang tersirat itu mempunyai bentuk umum.

ا لـمـخـا طـب يـد خـل فى عـمـو م خـطـا ب
Orang yang memerintahkan sesuatu masuk ke dalam pemerintah tersebut.

ا لـعـبـر ة بـعـمـو م ا لـلـفـــظ لا بــخـصـو ص ا لــسـبــب
Suatu ungkapan itu berdasarkan keumuman lafal, bukan kekhususan sebab.

ا لــعـمـل بـا لــعــا م قـبـل ا لـبـحـث عـن ا لـمـخــصّــص لا يـجـو ز
Mengamalkan lafal yang bersifat umum sebelum ada pengkhususan tidaklah diperbolehkan.

عــمـو م ا لــعـا م ســمــو لــيّ و عـمـو م ا لــمــطــلــق بــد لــي ّ
Keumuman itu bersaft menyeluruh, sedangkan keumuman mutlak itu bersifat mengganti atau mewakili.

KHAS ( KHUSUS )
ا لـلــفـظ ا لـذ ى يـد لّ عـلى مـعـنى و ا حــد
lafal yang menunjukan makna tertentu.


ADA 2 JENIS TAKHSHIS
a. Takhshih muttasil ( bersambung )

1. syarat co 2 : 228
2. Sifat 4 : 92
3. Goyah ( maksud, tujuan ) co. 5:6
4. badal ba’du min kulli co : haji bagi yang mampu
5. hal ( keadaan ) co larangan saat ketika mabuk 4 : 43
6. Dzorof makan dan zaman. Co masa zakat fitrah jadi sodakoh setelah sholat id.
b. takhsih munfasil ( terpissah )

1. mentahsis qur’an dengan qur’an 2: 228 dengan 65 : 4
2. mentakhsis qur’an dengan sunah co. warisan 4 : 11 dengan kafir dan pembunuh
3. mentakhsis sunah dengan qur’an contoh hadits wudu dengan tayamum 4:43
4. sunah ditskhsis dengan suanh. Co zakat tani 10 % dengan tidak wajib sebelum lima wasak
5. qur’an atau hadits ditakhsis dengan qiyas co. hukum dera bgi pejina 100 kali 24 : 2 dengan qiyas hamba sahaya 50 kali.
6. qur’an ditakhsis dengan akal co. wajib haji 3 : 97 anak kcil dan org gila tidak wajib.
7. hadits ditakhsis dengan mafhum ( maknba tersirat ) co zakat satu kambing dari 40. hanya kambing diluar kandang mencari makan sendiri , tapi yang dikandang /dipelihara tidak wajib ( HR Bukhari )
8. penghususna dengan problem nyata karena darurat hukum nya boleh. Co abdurahman bin auf dan zubair boleh pakai sutera karena penyakit ggatal.


Mutlaq dan Muqoyyad
Adalah lafal yang menujukan sesuatu yang tidak terbatas.
Adalah lafal yang menujukan sesuatu yang tidak terbatas.
ا لــمــطــلــق هــو ا للــفــظ ا اــخــا ص لـم يــقــيـّــد بــقــيــد لــفــظــيّ يــقــلّــل شــيــو عــه
Mutlaq adalah suatu lafadz tertentu yang tidak terikat oleh batasan lafadz yang mengurangi keumumannya.
ا لـــمــقــيّــد هـو ا للــفــظ ا لــخــا ص قــيّــد لــفــظــيّ يــقــلّــل شــيــو عــه
Muqayyad adalah lafadz tetentu yang dibataasi oleh batasan lafadz lain yang mengurangi keumumannya.

ا لـمـطـلـق عـلى ا طــلـقــه مـا لـم يــقـم د لــيـل عـلى تــقــيــد ه
Hukum mutlaq ditetapkan berdasarkan kemutlakannya sebelum ada dalil yang membatasinya.

ا لــمـقــيـد بـا ق عـلى تــقــيــيـد ه مـا لـم يــقـم د لـيــل عــلى ا طــلا قــه
Lafal muqayyad tetap dihukumi muqayyad sebelum ada bukti yang memutlakannya.

ا لــمــطــلـق لا يــبـقـى عـلى ا طــلا قــه ا ذ ا يـقـو م د لـــيـل عــلى تــقــيـيـد ه
Lafal mutlak tidak boleh dinyatakan mutlak jika telah ada yang membatasinya.

ا لــمـقــيـد لا يـبـقـى عـلى تـقـيـيـد ه ا ذ ا يـقـو م د لـــيـل عـلى ا طـــلا قــه
Muqayyad tidak aka tetap dikatakan muqayyad jika ada dalil lain yang menunjukan kemutlakannya.

ا لــمـطــلـق يـحـمـل عـلى ا لـمـقـيـّتد ا ذ ا ا تّــفــقـا فى ا لــســبـب و ا لــحـكــم
Mutlak dibawa ke mukoyyad jika sebab dan hukumny sama.

ا لـمــطــلـق يـحــمــل عــلى ا لــمــقــيـد ا ن ا خــتــلـفـا فى ا لــســبـب
Mutlak itu dibawa ke mukoyyad jika sebabnya berbeda

ا لـمــطــلــق لا يــحــمـل عـلى ا لــمــقــيــد ا ذ ا ا خــتــلـف فى ا لــحــكـم
Mutlak itu tidak dibawa ke mukoyyad jika yang berbeda hanya hukumnya

ا لــمــطــلـق لا يــحــمـل عـلى ا لــمــقــيــد ا ذ ا ا خـــتــلـفـا فى ا لــســبــب و ا لــحــكــم
Mutlak itu tidak dibawa ke mukoyyad jika sebab dan hukumnya berbeda


MANTUQ ( YANG TERSURAT ) DAN MAFHUM YANG TERSIRAT )
Mantuq adalah lafal yang kandungan hukumnya tersurat di dalam apa yang diucakan.
Mafhum adalah lafal yang kandungan hukumnya ada dibalik arti mantuq

مــا د لّ عــلــيــه ا لـلــفــظ فى مــحــلّ ا لــنّــطــق
Manthuq adalah sesuatu yang ditunjukan oleh lafadz sesuai dengan yang diucapkan
مــا د لّ عــلــيــه ا لـلــفــظ لا فى مــحــلّ ا لــنّــطــق
Mafhum adalah sesuatu yang ditunjukan oleh lafadz, bukan arti harfiyyah yang diucapkan
Mafhum terbagi 2 :
1.mafhum muwafaqoh yaitu menetapkan hukum dari maknanya yang sejalan atau sepadan dengan makna yang tersurat. Co. khomar itu haram, maka semua yang memabukan hukumnya haram.
Mafhum Muwafaqoh terbagi 2 :
1. fahwal khitab ketika yang tersirat lebih utama dari yang tersurat. Co 17 : 23. ah saja dilarang, apalagi memukul. 17 : 32 jangan mendekati zina. Mafhum muwafaqoh fhwal khitabnya adalah mendekati zina saja diharamkan, apalagi melakukannya.
2. Lahnul Khitab,
yaitu apabila yang tidak diucapkan ( tersirat ) sama hikumnya dengan yang diucapka ( tersurat ). Co. memakan harta anak yatim 4 : 9. mafhum muwafaqoh lanhul khitabnya contoh dengan membakar, atau merusaknya.
2. mafhum mukhalafah adalah menetapkan hukum kebalikan dari hukum mantuqnya
Mafhum mukhalafah terbagi
1. mafhum dengan sifat co. hadits zakat kambing, maka mafhum mukhalafahnya adalah binatang yang dikandangin, diberi makan tidak wajib zakat.
2. mafhum dengan goyah co. 2 : 187 mafhum mukhalafahnya apabila fajar datang, maka hentikan makan dan minum, atinya puasa dimuali.
3. mafhum dengan syarat co. 65: 6, mafhum mukhalafahnya dalah jika istri yang ditalak tidak hamil, maka mantansuami tidak harus meberi nafkah.
4. mafhum dengan bilangan co. 24 : 4, mafhum mukhalafahnya tidak boleh mendera < 80 atau > 80.
مــفــهـو م ا لــمــو ا فــقــة حــجــة
Mafhum muawafakoh ( makna tersirat yang sesuai ) dapat dijadikan hukum.


MUJMAL DAM MUBAYYAN
Mujmal adalah lafal yang mencakup kemungkinan segala keadaan dan hukum yang terkandung di dalam lafal tersebut. Ia bersifat global dan menyeluruh sehinga membingungkan dan tidak dapat diketahui secara jelas maksudnya tanpa danya mubayyan ( penjelas )
Abdul Wahab Khalaf mendefinisikan, “ lafal yang pengertiannya tidak dapat dipahami dari lafal itu sendirin apabila tidak ada qarinah yang menjelaskannya.
ا لــمــجــمــل هــو ا للــفــظ ا لــذ ي لا يــد لّ بــصــيــيــغـتــه عــلى ا لــمــر ا د
Mujmal adalah lafadz yang sighotnya tidak menunjukan apa yang dimaksud ( tidak jelas )
ا لــمــبــيــّـن هــو ا للــفــظ ا لــذ ي يــد لّ بــصــيــيــغـتــه عــلى ا لــمــر ا د
Mubayyan adalah lafadz yang sigotnya jelas menunjukan apa yang dimaksud.
تــأ خــيــر ا لـبـــيــا ن عــن و قـــت ا لــحــا جـة لا يــجــو ز
Mengakhirkan penjelasan pada saat dibutuhkan tidak dibolehkan.
تــأ خــيــر ا لـبـــيــا ن عــن و قـــت ا لـــخــطــا ب يــجــو ز
Mengkahirkan penjelasan pada saat diperintahkan hukumnya boleh.

MURADIF ( SINONIM ) DAN MUSYTARAK ( HOMONIM )
ا لـلــفـظ ا لــمــتـعــد د لــمـعــنى و ا حــد ا
murodif adalah dua kata atau lebih, satu arti

ا لـلـــفـظ ا لــذ ى يــد ل عــلى مـعــنـيـن ا و ا كــثـر
musytarak adalah satu kata mempunyai dua arti atau lebih

أ يــقــا ع كل مــن ا لــمــر ا د فــيــن مــكا ن ا لا خــر يــجــو ز ا ذ ا لــم يــقـم عــلــيــه طــا لــع شــر عــيّ
Mendudukan dua muradif pada tempat yang lain ( mempertukarkannya ) itu diperbolehkan jika tidak ada ketetapannya.
أ ســتــعــمــا ل ا لــمــشــتــر ك فى مــعــنـيــه ا و مــعــا نــيــه يــجــو ز
Penggunaan Musytarak menurut makna yang dikehendaki ataupun untuk beberapa maknanya itu diperbolehkan.

ZAHIR DAN MUAWWAL / TAKWIL

Zahir adalah lafal yang menunjukan arti secara langsung dari nas itu sendiri, tanpa memerlukan qarinah ( penyerta ) lain yang dating dari luar untuk memahami maksudnmya. Oleh karenanya lafal zahir tidak memungkinkan adanya takhshis, takwil, dan naskh.
Takwil adalah memalingkan arti zahir kepada makna lain yang memingkinkan berdasarkan dalil / bukti.
ا لــفــر و ع يــد خــلــه ا لــتــأ و يــل ا تــفــا قــا
Masalah cabang dapat dimasuki takwil berdasarkan consensus.
ا لأ صــو ل لا يــد خــلـه ا لــتــأ و يــل
Masalah ushuludin ( aqidah ) tidak dapat menerima takwil.

NASAKH DALAM NAS


ر فــع ا لــشــا ر ع حــكــمــا شــر عــيّــا بــد لــيــل مــتــر ا خ
Naskh adalah membatalkan pelaksanaan hukum dengan hukum yang datang kemudian.
ا بــظــا ل ا لــعــمــل بــا لــحــكــم ا لــشــر عــىّ بــد لــيــل مــتــر ا خ عــنــه
Naskh adalah membatalkan pengamalan sesuatu hukum syuara’ dengan dalil yang datang kemudian.
ا لــقــطــعــى لا يــنــســخــه ا لــظــنّ
Dalil qath’I tidak dapat dihapus dengan dalil zanni.


مـا لا ت ا لأ فــعــا ل مـقـصـو د ة و مـعـتـبـر ة
Ukuran sesuatu perbuatan tergantung kepada tujuan

مـا لا يــتـمّ ا لـو ا جـب ا لا بـه فـهـو و ا جــب
Sesuatu yang menjadikan kewajiban sempurna karenanya adalah wajib

د ر أ ا لـمـفــا ســد مــقـــد م عــلى جــلـب ا لــمــصــا لــح
Mencegah kerusakan lebih diutamakan dari mencari kebaikan

ا لــر خــص لا تــنــا ط بــا لـمــعــا صــى
Kemudahan tidak dikaitkan dengan maksiat

ا اــعــبــر ة فى ا لـعـقــو د بــا لـمـقــا صــد و ا لــمــعــا نـى لا بـا لا لــــفـــا ظ و ا لــمــبــنى
Perkara yang dianggap dalam akad-akad adalah berdasarkan kepada maksud dan iniat, bukan dengan lafadz dan perkataan.

مــا حــر م أ خــذ ه حــر م أ عــطــا ؤ ه
Sesuatu yang diharamkan mengambilnya, diharamkan memberinya

مــا حــر م أ ســـتــعــمــا لـه حــر م أ تــخــا ذ ه
Perkara yang haram menggunkannya, haram mengambilnya

مـن ا ســتــعــجـل شــيــئـا قــبــل أ و ا نــه عــو قــب بــحــر مــا نــه
Barang siapa yang bertindak cepat terhadap sesuatu sebelum waktunya, maka dibalas dengan sebaliknya.

ا ذ ا ا جــتــمــع ا لــحــلا ل و ا لــحــر ا م غــلــب ا لــحــر ا م
Apabila berkumpul halal dengan haram, maka yang dimenangkan adalah yang haram

ا لــضــر ر يــز ا ل شــر عــا
Bahaya harus dilenyapkan menurut syara
Co. memelihara diri dari merokok

ا لــضــر ر لا يــزا ل بــا لــضــرر
Bahaya itu tidak boleh dilenyapkan dengan bahaya.

Co. Memakan manusia karena lapar
يــحــتـمــل ا لــضــرر ا لــخــا ص لــد فــع ا لــضــر ر ا لـــعــا م
Ditangguhkan bahaya khusus demi menolak bahaya umum.
Co. Pembunuh harus dibunuh mengamankan jiwa-jiwa yang lain.
Tangan pencuri dipotong demi menyelamatkan harta manusia.

يــر تــكــب أ خــفّ ا لــضــرر يــن لا تّــــــقــا ء أ شــدّ هـــمــا
Yang lebih ringan dinatara dua bahaya bias dilakukan demi menjaga yang lebih membahayakan.
Co. seorang suami boleh di tahan ( bui) apabila menengguhkan memberi nafkah istrinya.
Seorang istri boleh ditalak karena bahaya, dan suami tidak memberi nafkah kepadanya
Meninggalkan syarat sholat lebih ringan dari pada meninggalkan shalat.

ر فـــع ا لــضــرر مــقــدّ م عــلى جــلــب ا لــمــنــا فــع
Menolak bahaya didahulukan dari pada menarik keuntungan
Co. Seorang pemilik dilarang mengelola harta miliknya apabila membahayakan orang lain.
Orang puasa, makruh berkumur dan menghisap air kedalam hidung secara berlebihan

ا لــضــرو رت تــبــيــح ا لــمــحــظــو ر ا ت
Keterpaksaan dapat diperkenankan melakukan hal-hal yang dilarang.
Co. Orang yang sangat lapar terpaksa harus memakan bangkai , kalau tidak membahayakn orang lain.Orang yang enggan membayar hutang bias diambil hartanya tanpa ijin dia.

ا لــضــرور ا ت تــقــدّ ر بــقــد ر هــا
Keterpaksaan itu diukur menurut tingkat keadaannya.
Co. Orang yang dalam kedaan terpaksa tidak boleh memanpaatkan sesuatru yang haram kecuali sekedar dapat menahan lidah.
Hukum rukhsoh menjadi gugur karena telah hilang sebabnya.

ا لــمــشــقــة تـــجــلــب ا لــتــيــســيــر
Kesulitan menuntut adanya kemudahan.
Co. Semua rukhsoh dari Allah untuk membuat seorang dan meringankan beban mukalaf dengan adanya sebab 7
1. Bepergian 2. Sakit 3. Paksaan 4. Lupa 5. Tidak tahu 6. umumul bala ( ganguan umum ) 7. Kekurangan

ا لـــحــر ج شــر عــا مــر فــو عــا
Kesempitan menurut syara bias ditiadakan dan diterima.
Co, Saksi wanita dalam hal tidak bias dilakukan laki-laki cacat dan buta.

ا لــحــا جــة تــنــز ل مــنــز لــة ا لــضــر و را ت فــى ا بــا حــة ا لـــمــحــظــو ر ا تـــ

Kebutuhan itu bias menduduki tingkatan keterpaksaan dalam kebolehan memeroleh sesuatu yang haram

KAIDAH ISTISHAB

مـا يـثـبـت بـا لـيــقــيـن لا يـزو ل بــا لـشــّــكّ
Apa yang ditetapkan oleh sesuatu yang meyakinkan, maka tidak dapat dihilangkan dengan sesuatu yang meragukan.

ا لأ صــل بـــقـا ء مـا كا ن عـلى مـا كا ن حــتىّ يــثـبـت مـا يــغـيــره
Asal sesuatu adalah ketepan yang telah ada menurut keadaan semula sehingga terdapat suatu ketetapan yang mengubahnya.

ا لأ صــل فى الأ شـــيـاء ا لأ بــا حـة
Hukum asal segala sesuatu adalah boleh

ا لأ صــل فى الأ شـــيـاء ا لأ بــا حـة حــتى يــد ل ا لــد لــيـل عـلى تــحــر يــمــهــا
Hukum sesuatu pada asalnya adalah boleh sehingga ada dalil yang mengharamkannya.

ا لأ صــل فى ا لأ نــســا ن ا لــبــرا ء ة
Asal pada manusia adalah bebas



بها الصلاح والفساد للعمل النية شرط لسائر العمل
An niyatu sartun lisairil 'amal biha sholaku wal fasadu lil'amal
Niat itu adalah syarat bagi semua amalan dalam ibadah dengan niat akan diketahui baik & buruknya amalan.

في جلبِها والدرء للقبائح الدِّينُ مبني على المصالح
Ad dinu mabniyun 'ala masholihi fi jalbiha wa dar ii lilqobaiihi
Agama ini bangun untuk kebaikan dan maslahat dalam penetapan syariatnya dan untuk menolak kerusakan.
يُقدَّم الأعلى من المصالحِ فإذا تزاحم عدد المصالحِ
Jika dalam suatu masalah bertabrakan antara manfaat satu dengan yang lainnya maka di dahulukan & diambil manfaat yang paling besar / tinggi
وضدُّه تزاحمُ المفاسدِ فارْتَكِب الأدنى من المفاس
WADHIDDUHU TAZAKUMUL MAFASIDDI FARTAKABU ADNA MINAL MAFASIDI
Adapun lawannya jika bertabrakan antara mudharat satu dengan yang lainya maka diambil mudharat yang paling kecil dan ringan
ن قواعد الشريعة التيسير في كل أمر نابه تعسير م و
WAMIN QOWAI'IDIS SARI'ATIT TAISIRU FI KULLI AMRIN NAABAHU TA'SIR
Dan termasuk qaidah syari'ah adalah mudah dalam setiap perkara sebagai ganti dari kesulitan ( kesusahan )
وليس واجب بلا اقتدار ولا مُحَرَّم مع اضطرار
WALAISA WAJIBUN BILAA IQTIDARIN WALAA MUHAROMUN MA'AADH DHOROR.
Tidak menjadi kewajiban jika tidak mampu mengerjakan dan tidak ada keharaman dalam keadaan darurat ( bahaya )
وكل محظور مع الضرورة بقدر ما تحتاجه الضرورة
Wa kullu mahthurin ma'ad dhorurohi bi qodri maa tahtaajuhu ad dhorurotu
Setiap hal yang dilarang itu di bolehkan jika dalam kondisi yang darurat, tetapi sesui dengan kadar yang dibolehkan saja untuk menghilangkan darurat itu.
وترجع الأحكام لليقين فلا يزيل الشكُ لليقين
Wa turja'ul ahkamu lillyaqini falaa yuziilus sakku lillyaqini
Dan dikembalikan hukum itu kepada yang diyakini dan keraguan tidaklah membatalkan keyakinan itu.
والأصل في مياهنا الطهارة والأرض والسماء والحجارة
wal aslu fi miyahinaa at thohaarotu wal ardhu was sama'u wal hijaarotu
Hukum asal air tanah, langit dan batu adalah suci.
الأصل في الأبضاع واللحوم والنفس والأموال التحريم
al aslu fil abdho'i wal luhuumi wan nafsi wal amwaali at tahrim
Hukum asal dalam hal perkawinan ( kemaluan ), daging hewan dan jiwa/nyawa dan harta adalah haram.
والأصل في عاداتنا الإباحة حتى يجيء صارف الإباحة
Wal aslu fi 'aadaatinal ibaahati hatta yajii u sooriful ibahah
Dan hukum asal dalam kebiasaan ( adat istiadat ) adalah boleh saja sampai ada dalil yang memalingkan dari hukum asal.
في العبادات التحريم الأصل
Al aslu fil ibaadati at tahrim
Hukum asal ibadah adalah haram.
الوسائل تعطى أحكام المقاصد
al wasailu tu'thii ahkamul maqosid
Semua sarana suatu perbuatan hukumnya sama dengan tujuannya ( perbuatan tersebut ).
الإقر ار حجة قاصرة
Al 'Iqrooru Hujjatun Qoo Shiroh
Pengakuan adalah Sebuah Hujjah yang Terbatas
Baca Selengkapnya ...
Selasa, 19 Oktober 2010
Profil: KH. Nawawi Abdul Aziz

KH. Nawawi Abdul Aziz lahir pada tahun 1925. Beliau merupakan putra kedua dari Al Maghfurlah KH. Abdul Aziz, seorang petani yang tinggal di pelosok desa di daerah Kawedanan yang terkenal yaitu Kutoarjo tepatnya di desa Tulusrejo Grabag Kutoarjo Purworejo Jawa Tengah.
Karir keilmuan Beliau dirintis sejak beliau berumur tujuh tahun. Hari-hari beliau selalu dihiasi dengan berbagai kegiatan Tholabul ‘ilmi. Pagi hari Beliau belajar di Sekolah Dasar ( SR-red ) dan sorenya Beliau mengikuti Madrasah Diniyah Al Islam Jono. Sedangkan pada malam hari, Beliau mengaji Al Qur’an kepada sang Ayah dan juga beberapa disiplin ilmu seperti Ilmu Fiqh dan Ushuluddin.

Setelah Beliau berumur 13 tahun, Beliau meneruskan pengembaraannya ke Pondok Pesantren Lirap Kebumen Jawa Tengah untuk mengaji Ilmu Alat kepada Al Maghfurlah KH. Anshori selama 4 tahun. Kemudian setelah dirasa cukup, Beliau ditarik oleh Orang tua Beliau untuk selanjutnya diantar bersama kakak ke Pondok Pesantren Tugung Banyuwangi di bawah asuhan Al Maghfurlah KH. Abbas yang pada saat itu Indonesia masih dijajah oleh Jepang.
Setelah beberapa tahun menimba ilmu di sana, seperti Pemuda yang lainnya, Beliau merasa ingin sekali pulang ke kampung halaman sekedar melepaskan rasa rindu kepada keluarga. Untuk itulah, dua bulan setelah Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia dikumandangakan, beliau pulang ke Kutoarjo. Tetapi bak pepatah, “ untung tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak ”, sebelum Beliau sempat kembali ke Pondok, serdadu Belanda dengan membonceng tentara Inggris mendarat di Surabaya dan menjarah Jawa TImur. Maka pupuslah harapan untuk kembali ke Pondok dan terpisahlah Beliau dengan Kakak yang masih di Banyuwangi.
Keadaan telah berubah, seluruh kitab yang dimiliki Beliau tertinggal di Banyuwangi. Tetapi hal tersebut tidak membuat Beliau patah semangat bahkan sebaliknya, Beliau semakin semangat dalam menuntut ilmu yang Beliau wujudkan dengan kembali mondok untuk menghafalkan Al Qur’an ke sebuah Pondok Pesantren di Yogyakarta tepatnya di Pondok Krapyak yang didirikan oleh Al Maghfurlah KH. Munawwir yang pada saat itu diasuh oleh Al Maghfurlah KH. R Abdul Qodir Munawwir. Nasehat, tausiah dan irsyad dari Al Maghfurlah KH.R Abdul Qodir M Beliau ikuti dan patuhi dengan ikhlas dan tekun, sehingga dalam waktu tiga bulan, Beliau berhasil menghafal tujuh juz setengah dengan hafalan yang sangat baik. Disaat Beliau sedang menikmati dan melatih keistiqomahan diri dalam menghafal dan menjaga Al Qur’an, tanpa diduga terdengar berondongan peluru mitraliur yang menghujani langit Yogyakarta yang disertai dengan diterjunkannya pasukan Belanda di lapangan terbang Maguo ( kini Adisucipto ) sebagai tanda dimulainya class kedua ( duurstuud ). Hari itu pula Beliau dan ketujuh orang temannya pulang ke kampung halaman ( Kutoarjo ) dengan berjalan kaki. Di rumah, Beliau tetap menjaga hafalan Al Qur’an yang telah didapat dan menambah hafalan walaupun harus ikut serta membantu para gerilyawan.
Setelah Yogayakarta aman kembali ( sekitar enam bulan ), Beliau kembali ke Krapyak untuk melajutkan tekatnya. Dengan berkat rahmat dari Allah SWT disertai dengan anugrah keistiqomahan yang Beliau miliki, Beliau mampu menyelesaikan hafalan dalam 15 bulan dengan hasil yang sangat memuaskan sehingga wajar saja jika Guru Beliau sangat menyayangi Beliau, bahkan sebagai puncak dari kasih sayang tersebut, Beliau diamanahi untuk menikahi adik sang Guru ( Al Maghfurlah KH.R Abdul Qodir Munawwir ) yang bernama Ibu Nyai Hj. Walidah Munawwir ( putri dari Al Maghfurlah KH Munawwir Pendiri Pondok Pesantren Krapyak Yogyakarta ).
Pengembaraan beliau tidak berhenti sampai di sini, setelah mendapat restu dari sang Guru sekaligus Kakak, pada hari ketujuh puluh dari hari kelahiran putra pertamanya, Beliau berangkat ke Pondok Pesantren Yanbu’ul Qur'an Kudus untuk mengaji Al Qur’an dengan Qiroah As Sab’ah kepada Al Maghfurlah KH. Arwani Amin. Pada tahun 1955 M beliau berhasil menyelesaikan pelajaran dengan baik dan menerima Syahadah/Ijazah khatam mengaji Qiro’ah As Sab’ah secara hafalan kepada Al Maghfurlah KH. Arwani Amin Kudus.
Setelah selesai belajar di Kudus, Beliau memutuskan untuk kembali ke Kutoarjo untuk mengajarkan ilmu yang pernah didapat dan juga untuk membantu Orang tua yang telah menapaki usia senja. Di sana Beliau membuka pengajian Al Qur’an dan Madrasah Ibtidaiyah kelas I yang hanya dibantu oleh seorang tenaga pengajar sekaligus sebagai pengurusnya. Keterbatasan pengajar, tidaklah menjadi halangan bagi Beliau untuk berjuang dalam menyebarkan ilmu Agama. Beliau mensiasatinya dengan mengkader semua siswa sehingga siswa-siswi yang duduk di kelas IV sudah mampu untuk mengajar adik-adik kelas satu dan dua.

KH.R Abdul Qodir Munawwir pemegang tampuk kepemimpinan Pondok Krapyak wafat, yang kemudian digantikan oleh KH.R Abdullah Affandi Munawwir . Pada saat itulah Beliau ( KH. Nawawi Abdul Aziz ) dipanggil untuk membantu mengajarkan Al Qur’an di Pondok Pesantren Krapyak, Bersama dengan Al Maghfurlah KH. Mufid Mas’ud ( Pengasuh Pondok Pesantren Sunan Pandanaran ) dan Al Maghfurlah KH. Ali Ma’sum. Pembagian tugas dilakukan oleh KH.R Abdullah Affandi Munawwir sebagai pengasuh utama, KH. Ali Ma’sum bertanggungjawab atas pengajaran kitab sedangkan Beliau dan KH. Mufid Mas’ud memegang pengajaran Al Qur’an.
Setelah dua tahun tinggal di Krapyak, timbullah keinginan untuk pindah ke Dusun Ngrukem guna lebih dekat dari tempat Beliau berkerja sebagai Ketua Hakim Pengadilan Agama Bantul dan juga didorong oleh keinginan untuk mendirikan Pondok Pesantren sendiri, dan berkat Ridlo dari Allah SWT, beliau mampu mewujudka cita-cita Beliau untuk membangun Pondok Pesantren yang sampai saat ini masih eksis berdiri. Sekarang umur beliau telah mencapai 83 tahun dan telah dikaruniai 11 putra/putri dan 49 cucu serta 1 buyut, walaupun demikian Allah SWT masih meberikan nikmat sehat yang begitu besar sehingga di usianya yang senja Beliau masih kuat dalam membimbing sekitar 700 santri untuk mencapai derajat yang mulia secara langsung. Allahumma thowwil ‘umrohu wa shohhih jasadahu linantafi’a bi’ulumihi wa hikamihi. Amin.
Baca Selengkapnya ...